Pakar Hukum Sebut Jurnalis Dilindungi UU, Polisi Harus Evaluasi

Jakarta - Tercatat ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan dan penangkapan oleh anggota Polri dalam unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis 8 Oktober 2020 kemarin.
Data tersebut dicatat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Bahkan jumlah tersebut bisa saja bertambah, karena masih dalam proses penelusuran.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan, bahwa jurnalis tidak boleh mengalami intimidasi dan kekerasan saat meliput.
Hal ini dikarenakan jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
"Kerja mereka dilindungi UU. Maka, kekerasan kepada jurnalis sangat disayangkan," kata Suparji dalam siaran persnya pada Jumat (09/10/2020).
Ia juga menegaskan, bahwa intimidasi kepada jurnalis bertententangan dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnalis, memiliki hak untuk menjalankan lerja jurnalistik.
"Penangkapan sangat bertentangan dengan hukum dan HAM. Terlebih ini dilakukan oleh polisi. Seharusnya polisi bisa membedakan mana jurnalis dan mana peserta demo," paparnya.
Oleh sebab itu, ia menekankan agar polisi melalukan evaluasi dalam mengamankan kegiatan aksi. Jangan sampai, jurnalis yang dilindungi UU justru menjadi korban.
"Jurnalis yang ditangkap harus segera dibebaskan dan polisi perlu melakukan evaluasi," tandasnya.