URnews

Pakar soal Kasus Dokter Lois: Pernyataannya Harus Didasari Pembuktian

Eronika Dwi, Senin, 12 Juli 2021 19.32 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pakar soal Kasus Dokter Lois: Pernyataannya Harus Didasari Pembuktian
Image: Lois Owien. (Instagram @dr_loiss77)

Jakarta - Publik diramaikan dengan polemik pernyataan dokter Lois Owien yang mengaku tak percaya dengan COVID-19.

Pernyataan dokter Lois soal COVID-19 bukan disebabkan virus dan tidak menular yang diunggahnya di media sosial pun menuai pro kontra.

Menanggapi fenomena tersebut, Pengamat Hukum Pidana, Tris Haryanto mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak kebebasan berpendapat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi:

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Disamping itu, Tris melanjutkan, perlu juga dilihat ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu:

"Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan, dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan negara".

Tris menekankan, meski begitu ada yang perlu diperhatikan di sini, yaitu dalam menyampaikan pendapat seharusnya didasari dengan pembuktian yang nyata agar menjadi jelas, tegas dan terang benderang.

"Misalnya pendapat dokter Lois menyatakan bahwa ia tidak percaya dengan COVID-19 bahkan menyebut kalau 'pasien COVID-19 yang meninggal dunia dipicu karena interaksi obat', selama pendapat tersebut bisa diuji kebenarannya dan dipertanggung jawabkan itu sah-sah saja," kata Tris saat dihubungi Urbanasia, Senin (12/7/2021).

"Namun yang menjadi masalah apabila ia tidak mampu mempertanggung jawabkan kebenarannya maka akan menjadi masalah buat dirinya, maka ia diduga telah menyebarkan berita bohong atau hoax ke publik yang akan terancam Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946," sambungnya.

Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 sendiri mengatur Tentang Peraturan Hukum Pidana mengatur tentang kabar tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat, yang ancaman pidananya maksimal 10 Tahun Penjara Jo Pasal 45 A ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE yang ancaman hukumannya maksimal 6 (enam) Tahun penjara.

Pendapat serupa pun datang dari Pakar Hukum Pidana, Suparji Achmad yang menyamakan kasus dokter Lois dengan Ratna Sarumpaet.

Suparji Achmad mengatakan jika yang dikatakan dokter Lois tak dapat dibuktikan kebenarannya, maka dokter Lois bisa dikenakan pasal seperti yang dikenakan pada Ratna Sarumpaet.

"Yang bersangkutan harus menjelaskan soal statemennya. Bila tanpa dasar, maka bisa dipidana karena menyebarkan hoax yang dapat menimbulkan keonaran bisa dikenakan pasal 14 atau Pasal 15 UU no 1 tahun 1946, seperti yang dikenakan pada Ratna Sarumpaet," paparnya dalam keterangan persnya.

Suparji Achmad berpesan kepada semua pihak agar menahan diri untuk tidak melontarkan hal sensitif, apalagi dengan bukti ilmiah lemah. 

Sebab, menurut Suparji Achmad, dalam situasi begini yang dibutuhkan adalah ketenangan, solidaritas dan kebersamaan.

Siapapun yang melontarkan narasi harus kontributif dan produktif dan tidak sekedar mencari popularitas atau viral melalui media sosial.

"Maka saya mengapresiasi gerak cepat Polisi yang menindaklanjuti laporan terhadap dokter Louis. Hal ini guna mencegah terjadinya polemik dan sekaligus meminta kejelasan dari yang bersangkutan dan membuktikan adanya unsur pidana dari pernyataan tersebut," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait