Pengertian dan Sejarah Klitih yang Sering Bikin Resah Warga Jogja
Jakarta - Dalam beberapa hari terakhir, warga Yogyakarta (Jogja) kembali diresahkan dengan kasus klitih. Kali ini, klitih merenggut nyawa seorang siswa SMA Muhammadiyah 2 bernama Daffa Adzin Albasith.
Kejadian nahas itu terjadi pada Minggu (3/4/2022) dini hari pukul 02.10 WIB. Saat itu, korban bersama teman-temannya berjumlah tujuh orang berhenti di sebuah warung makan.
Tak lama berselang, di depan warung makan itu melintas dua motor yang ditumpangi lima orang sembari memainkan gas motor. Kelompok korban yang geram lantas berusaha mengejar.
Dalam pengejaran itu korban dibonceng temannya dengan total empat motor. Saat berada di kawasan Jalan Gedongkuning, pelaku yang dikejar tiba-tiba balik arah. Saat sudah dekat, pelaku menyabetkan benda tajam yang diduga gir hingga mengenai bagian wajah korban.
Setelah kejadian itu, pelaku melarikan diri ke arah selatan. Sementara korban yang terluka mendapat pertolongan petugas Direktorat Sabhara Polda DIY yang sedang berpatroli dan dilarikan ke RSPAU Hardjolukito. Nahas, korban meninggal saat di rumah sakit.
Kejadian nahas yang menimpa Daffa ini menambah deretan panjang aksi jalanan yang dikenal dengan nama ‘klitih’. Lantas apa sebenarnya klitih dan bagaimana sejarahnya hingga sering meresahkan warga Jogja?
Pengertian Klitih
Dirangkum dari sejumlah sumber, klitih dipahami sebagai kenakalan remaja yang mengarah pada tindak kriminalitas. Biasanya, klitih ini mengatasnamakan sekelompok remaja atau geng sekolah yang saling serang dengan sasaran pelajar atau masyarakat umum.
Klitih dengan pemahaman seperti itu merupakan hasil pergeseran makna klitih itu sendiri. Pasalnya, merupakan bahasa Jawa yang artinya aslinya mencari kesibukan di waktu luang. Klitih juga merupakan istilah yang merujuk pada Pasar Klitikan Jogja.
Singkatnya, klitih adalah melakukan aktivitas yang tidak jelas yang bersifat santai untuk mengisi waktu luang, sambil mencari barang bekas di Pasar Klitikan. Selain klitih, ada pula kata ‘nglitih’ yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan jalan-jalan santai.
Sejarah Klitih
Adapun klitih dengan makna yang mengarah kepada kekerasan sudah dikenal di kalangan pelajar Yogyakarta sejak era tahun 1980-1990-an. Kekerasan para pelajar kala itu melibatkan dua geng legendaris Jogja yang bernama QZRUH dan JOXZIN.
QZRUH merupakan singkatan dari Q-ta Zuka Ribut Untuk Tawuran. Geng ini menguasai wilayah Yogyakarta bagian utara. Sedangkan JOXZIN singkatan dari Joxo Zinthing atau Pojox Benzin atau Jogja Zindikat. Geng ini menguasai daerah Malioboro dan sekitarnya.
Namun kala itu kata klitih masih belum sepopuler sekarang. Kekerasan yang terjadi masih sering disebut dengan istilah tawuran. Tidak ada keterangan pasti terkait kapan kata klitih mulai menggeser kata tawuran dalam hal ini.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa istilah klitih muncul menggantikan kata tawuran setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi pada periode 2011-2012. Saat ini, istilah klitih lebih jamak digunakan untuk aksi kekerasan yang terjadi di jalanan Jogja pada malam hari.
Bahkan Laporan Akhir Tahun Polda DIY 2016 dengan gamblang menggunakan kata klitih untuk menggambarkan kekerasan di kalangan pelajar.
Dalam praktiknya, pelaku klitih terdiri dari beberapa orang dengan membawa senjata tajam mulai dari pedang, golok, hingga gir sepeda motor. Para pelaku ini akan menjalankan aksinya pada malam hari.
Korban yang diburu pun tidak pandang bulu. Dalam beberapa kasus, pelaku sama sekali tidak mengenal korbannya. Artinya, dalam banyak kasus klitih ini tidak ada diketahui adanya motif berupa permasalahan pribadi atau dendam.
Selain itu, para pelaku klitih juga beraksi di jalanan yang sepi hingga tempat-tempat nongkrong di Jogja seperti warung burjo, angkringan atau warung kopi yang menjadi incaran. Seseorang yang menjadi korban akan mengalami luka senjata tajam bahkan hingga kehlangan nyawa.