URnews

Pandemi, Dilema Digitalisasi Peradaban, dan Peran Anak Muda

Verdy Firmantoro, Senin, 28 September 2020 17.13 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pandemi, Dilema Digitalisasi Peradaban, dan Peran Anak Muda
Image: Ilustrasi anak muda dan gadget. (Freepik)

Jakarta - Pergeseran peradaban dari nyata ke maya menjadi keniscayaan di tengah pandemi global COVID-19.

Ruang siber yang bertumpu pada teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana utama konektivitas kehidupan. Implikasinya bukan hanya soal teknis, tetapi juga nilai (value) yang semakin berubah.

Watak zaman “dipaksa” untuk beradaptasi dengan keadaan. Pandemi mendisrupsi menuju tatanan baru kenormalan. 

Laporan dari Mobile Marketing Association (MMA) yang dirilis tahun 2019 yang lalu menyebut bahwa 97 persen populasi atau sekitar 171 juta orang Indonesia pengguna internet. Signifikansi penetrasi pengguna internet itu belum berkorelasi positif dengan kualitas jagad ruang siber.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bahwa terindikasi hampir 1 juta situs penyebar hoaks mengudara. Lebih lanjut khusus berkaitan dengan informasi COVID-19 tidak kurang dari 1400-an hoaks menghiasi dunia digital.

Pertanyaannya, apakah pandemi dan digitalisasi ini sebagai seleksi alam (natural selection) di tengah arus besar perubahan peradaban?

Jagad Medsos dan Benturan Peradaban

Tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban (Clash of Civilizations) yang menempatkan identitas budaya dan agama sebagai sumber konflik sebenarnya telah menuai kritik.

Namun, di era digital seperti saat ini dua hal tersebut memang tengah subur menjadi alat kontestasi yang meramaikan dunia maya. Identitas menjadi politik narasi yang lebih mudah dimainkan untuk memobilisasi massa agar saling berseteru satu sama lain.

Melalui pandangan Jayson Harsin (2015) dalam tulisannya Regimes of Post-truth, Post-politics, and Attention Economies, kondisi perang narasi dengan berbagai fluktuasi konflik di jagad media sosial menjadi bagian dari rezim pasca kebenaran.

Lebih lanjut kerangka ini menjelaskan bahwa kekuasaan ditengarai mengeksploitasi produksi informasi dengan tetap mengatasnamakan “kebebasan”.

Singkatnya, pertarungan di jagad medsos tidak lebih sebagai perpanjangan konflik kepentingan dengan mengandalkan sentuhan-sentuhan emosional daripada kebenaran melalui fakta yang objektif. 

Populasi besar pengguna internet belum secara khusus menunjukkan tingkat literasi digital yang memadai. Seringkali masyarakat maya atau netizen, justru terpicu bersikap dengan informasi yang belum tentu kebenarannya atau bisa disebut dengan berita bohong.

Apalagi saluran komunikasi digital sangat mudah diakses, baik seperti Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Informasi yang beredar secara cepat dalam ruang virtual tersebut tidak mengarahkan setiap individu yang menerima untuk memvalidasi lebih lanjut.

Konflik semakin tajam dalam jagad maya ketika masing-masing orang berusaha membenarkan apa yang diyakininya bukan meyakini apa yang semestinya benar. 

Digitalisasi Peradaban dan Peran Sentral Generasi Muda

Pergeseran peradaban ke ranah digital di satu sisi membuka banyak peluang, tetapi juga memunculkan banyak kegagapan.

Para generasi baby boomers, beberapa fakta sering ditemukan cukup merasa kesulitan berhadapan dengan perangkat-perangkat teknologi digital.

Sementara, generasi muda dalam konteks ini justru cukup diuntungkan dengan keterampilan adaptif menggunakan teknologi kontemporer. 

Andy Furlong dan Fred Cartmel (2007) dalam Young People and Social Change mengutip pandangan Beck bahwa generasi muda ditempatkan sebagai Risikogesellschaft. Masyarakat peralihan dari industri ke modernitas baru yang secara khusus akan terus menerus menghadapi resiko.

Generasi muda dicirikan mempunyai progresivitas, memanfaatkan pengetahuan ilmiah dan cenderung ingin “bebas” dari kungkungan tatanan lama.

Hal itulah yang menempatkan peran sentral generasi muda dalam mengawal dan mengisi disrupsi peradaban seperti saat ini. 

Peran generasi muda tidak hanya sebagai objek atau pengguna (user) teknologi, melainkan perlu menjadi subjek dalam perkembangan arus baru perangkat-perangkat digital.

Digitalisasi peradaban bukan hanya jargon, atau peralihan yang bersifat teknikal, melainkan upaya transformasi sebagai proses menjadi masyarakat yang maju dan berkeadaban. Konversi dari masyarakat analog menjadi masyarakat digital perlu melibatkan pemahaman nilai-nilai etis di jagad virtual.

Generasi muda tidak cukup mengandalkan kecerdasan fisik dengan menguasai beragam keterampilan digital, melainkan juga perlu mempertajam kecerdasan sosial. Saatnya yang muda memimpin agenda-agenda besar perubahan. 

 

 

**) Penulis merupakan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Pengamat Komunikasi Politik 

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait