URtrending

Pertama Kali, UIN Malang Cetak Doktor Penyandang Disabilitas

Shelly Lisdya, Selasa, 13 Oktober 2020 16.19 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pertama Kali, UIN Malang Cetak Doktor Penyandang Disabilitas
Image: Moh Anas Kholis seorang penyandang disabilitas yang berhasil gelar doktor di UIN Malang. (Ist)

Malang - Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang pertama kali mencetak doktor penyandang disabilitas.

Ia adalah Moh Anas Kholish, seorang tunanetra dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan merupakan doktor UIN Malang yang ke-368. 

"Ini dalam sejarah sejak UIN Malang dibuka, kami bisa mencetak doktor difabel," ujar Rektor UIN Malang, Prof Dr Abdul Haris MAg.

Tak hanya bergelar doktor, Anas pun berhasil meraih predikat Cum Laude. Bahkan, Anas pun sangat menguasai materi promovendusnya.

"Sangat istimewa ini, karena promovendusnya tunanetra dan penguasaan terhadap materi hasil penelitiannya sangat bagus. Ini menunjukkan bahwa fakultas punya kesempatan yang luar biasa untuk menghasilkan para doktor," katanya belum lama ini.
 
FYI nih guys, judul disertasi Anas adalah Model Pendidikan Fiqih Berwawasan Toleransi dalam Menyikapi Keragaman Mazhab (Studi Kasus di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo). 

Penelitian itu diambil karena fragmentasi ideologi yang terjadi di Indonesia begitu runcing. 

Kajian-kajian akademik seperti pluralisme atau multikulturalisme menurut Anas hanya merespons keragaman di level makro (seperti keragaman agama, keragaman budaya, kebhinekaan agama, kebhinekaan budaya). Sementara keragaman di level mikro seperti kebhinekaan fiqih sebagai sebuah realitas eksis absen untuk dilihat.

"Pondok Darussalam Gontor kemudian mencoba memberikan sebuah alternatif modern tentang bagaimana pendidikan fiqih yang berwawasan toleransi," terang Anas.

Anas melihat Gontor cukup relevan dalam menjawab tantangan friksi keragaman di masa sekarang ini. Meski ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah di Indonesia terbangun secara matang. Akan tetapi, ukhuwah islamiah tidak terbangun secara matang.

"Padahal ketiganya harus terbangun secara matang. Islam, muslim, sebagai mayoritas di Indonesia jangan mau dipecah belah sebagaimana Belanda memecah belah bangsa kita," tegasnya.

Bersatunya umat Islam di Indonesia menjadi sebuah keharusan sosiologis dan keharusan konstitusi. Sesangkan disertasi Anas sendiri adalah sebuah pijakan teoritis untuk bersatunya umat Islam di seluruh dunia dan Indonesia.

"Organisasi boleh berbeda. Baik NU atau Muhammadiyah. Tetapi dalam membangun peradaban Indonesia bersama dibutuhkan yang namanya sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia," tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait