URnews

Profesor UB: Pilkada 2020 Berkembang Jadi Pemilihan Politik Antroposentrik Kedaerahan

Shelly Lisdya, Jumat, 18 Desember 2020 09.19 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Profesor UB: Pilkada 2020 Berkembang Jadi Pemilihan Politik Antroposentrik Kedaerahan
Image: Profesor Bidang Sosiologi Pemerintahan Universitas Brawijaya (UB) Luqman Hakim ketika memberi pidato dalam pengukuhan profesor. (Istimewa)

Malang - Profesor Bidang Sosiologi Pemerintahan Universitas Brawijaya (UB) Luqman Hakim mengungkapkan, jika pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini mengalami bias politik dan sosial.

Ia pun menyebut, jika pilkada berimbas dan berkembang menjadi pemilihan politik antroposentrik kedaerahan dalam arti lebih menyuburkan ikatan-ikatan primordialisme daripada ikatan-ikatan nasionalisme politik.

Baca Juga: Hasil Sirekap Pilkada Jatim Capai 100 Persen, Ini Rekapitulasinya!

“Saat ini pilkada lebih mirip seperti pemilihan kepala politik dibandingkan kepemimpinan administratif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan selama 15 tahun,” katanya.

Dia menambahkan, keberadaan pilkada saat ini dianggap membahayakan, karena sudah menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945.

Baca Juga: Petugas KPPS Berjuang Seberangi Sungai Demi Amankan Logistik Pilkada 2020

“Biaya pemilihan politik yang mahal calon kepala daerah dikuasai ataupun secara sukarela menyerahkan diri kepada oligarki yang pusat kekuasaannya berada di tangan para pejabat tinggi negara, petinggi partai politik atau para cukong.

"Oleh karena itu, dari perspektif sosiologi pemerintahan diprediksi, pilkada cepat atau lambat, membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),”katanya.

Kendati demikian, ia menilai jika masyarakat sudah cerdas. Pun masyarakat justru memainkan pilkada untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri.
Mereka sengaja menjual suara kepada semua bakal calon (balon) tetapi juga menanti serangan fajar.

“Ketika akhirnya tidak sedikit mereka yang berhasil terpilih ternyata masuk bui, masyarakat tidak perduli, bahkan mempermasalahkan sang aktor yang hanya pandai korupsi berjamaah dengan kelompoknya sendiri, dan gagal memainkan peran Si Pitung si perampok dermawan dalam folklore rakyat Betawi zaman kolonial,” tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait