URnews

Ramai Klaim Antibodi COVID-19, Pakar UGM: Penemuan Obat Tidak Semudah Itu

Nunung Nasikhah, Kamis, 6 Agustus 2020 15.19 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Ramai Klaim Antibodi COVID-19, Pakar UGM: Penemuan Obat Tidak Semudah Itu
Image: Ilustrasi masker Corona. (Pixabay)

Yogyakarta - Beberapa waktu lalu, publik ramai membicarakan klaim penemuan antibodi yang disebut dapat mencegah dan menyembuhkan pasien yang terinfeksi COVID-19.

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati mengatakan, masyarakat seyogyanya tidak mudah percaya terhadap klaim semacam ini. Terlebih, menurutnya, penemuan obat bukan sesuatu yang mudah.

“Jika ada berita-berita yang mengklaim penemuan obat COVID-19, jangan cepat percaya, karena penemuan obat COVID-19 tidak semudah itu,” kata Prof Zullies, seperti dikutip dari website resmi UGM (6/8/2020).

“Carilah info-info berimbang pada lembaga-lembaga yang terpercaya seperti Badan POM,” imbuhnya.

Zullies juga mengatakan, pernyataan penemuan antibodi COVID-19 yang berasal dari herbal merupakan istilah yang tidak tepat.

Karena, menurut Zullie, antibodi sendiri adalah suatu protein yang dibentuk oleh sistem imun ketika menghadapi paparan antigen/patogen, bisa berupa virus, bakteri, jamur, dan lainnya, termasuk terhadap virus COVID-19.

“Jadi kalau ada orang yang mengklaim menemukan atau menciptakan antibodi, tentu itu hal yang sangat tidak tepat,” tegasnya.

Antibodi, kata Zullie, adalah senyawa yang dihasilkan oleh sel-sel imun, yaitu oleh sel limfosit B yang bekerja melawan antigen.

Dalam hal COVID-19, yang bisa disebut sebagai produk antibodi adalah plasma convalescent yang berasal dari pasien COVID-19 yang sudah sembuh.

“Pasien COVID-19 yang sudah sembuh akan memiliki antibodi terhadap COVID-19. Nah, ini yang kemudian diisolasi plasma darahnya lalu ditransfusikan kepada pasien sakit, di mana plasma darah ini mengandung antibodi COVID-19,” terang Zullies.

Dalam konteks lain, suatu antibodi bisa diisolasi dari makhluk hidup dan mungkin dikemas menjadi satu sediaan, misalnya Anti bisa ular (ABU).

Serum anti bisa ular dibuat dengan cara memberikan bisa ular ke dalam tubuh hewan, seperti kuda atau domba.

Proses penemuan vaksin dan obat, menurut Zullies, adalah proses yang berbeda. Obat bisa berasal dari senyawa kimia atau diisolasi dari herbal, atau sumber lain.

Ia menambahkan, obat memiliki target tertentu pada tubuh manusia. Namun sebelum dicobakan ke manusia, calon obat harus menjalani dulu serangkaian uji pre-klinik pada hewan atau pada sel, selain itu juga harus diuji keamanannya.

Sedangkan vaksin sendiri bukanlah obat, melainkan suatu senyawa berupa antigen yang lemah yang bekerja memicu produksi antibodi pada tubuh orang yang divaksin.

Sementara untuk vaksin COVID-19, bisa dibuat antigen berupa keseluruhan virus yang dilemahkan atau bagian dari virus yang kemudian ditempelkan pada virus pembawa lain, atau berupa mRNA virus SARSCoV2.

Orang yang menerima vaksin ini akan menghasilkan antibodi terhadap virus corona, sehingga menjadi lebih kebal dan tidak mudah terinfeksi.

“Penelitian tentang vaksin di Indonesia sudah dimulai di Lembaga Eijkman bekerja sama dengan PT Bio Farma, tetapi prosesnya masih panjang untuk sampai ke pasar,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait