URtainment

Review 'Cinta Bete', Film yang Masuk Daftar Nominasi FFI

Kintan Lestari, Rabu, 17 November 2021 18.40 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Review 'Cinta Bete', Film yang Masuk Daftar Nominasi FFI
Image: Film Cinta Bete. (Instagram @cintabete)

Jakarta - Festival Film Indonesia (FFI) memang sudah berakhir pada Rabu (10/10/2021). 

Namun tidak terlambat untuk mengulik film-film yang masuk dalam daftar nominasi FFI, salah satunya 'Cinta Bete'.

'Cinta Bete' adalah film produksi Inno Maleo Films yang berkisah tentang perempuan Atambua bernama Bete Kaebauk. 

Film yang dibintangi oleh Hana Malasan, Marthino Lio, Otig Pakis, Djenar Maesa Ayu Sjuman, Yoga Pratama, Daniella Tumiwa, Adam Farrel, dan Jordhany Agonzaga ini masuk ke dalam nominasi Film Cerita Panjang Terbaik. 

Tak hanya itu, sutradara, penulis naskah, juga pemain filmnya ikut masuk dalam nominasi FFI 2021.

Berikut review Urbanasia mengenai film 'Cinta Bete'. 

(Warning: Mengandung Spoiler)

'Cinta Bete' sebenarnya membawa formula lama, namun tetap saja masih relate dengan keadaan saat ini, yakni tradisi adat yang terkesan mengikat, budaya patriarki, dan kekerasan berbasis gender.

Budaya patriarki digambarkan apik lewat adegan Djenar Maesa Ayu Sjuman dan Otig Pakis yang memerankan suami istri. Seorang istri harus melayani sang suami dalam kondisi apa pun, termasuk saat hamil besar dan keguguran.

Lalu ada juga perbedaan kelas sosial. Di film Bete Kaebauk yang keturunan bangsawan jatuh hati dengan Elfredo, yang hanya orang biasa. Saat hendak melamar, lamaran Elfredo ditolak lantaran sang pria tidak bisa membayar belis atau mahar yang diminta.

Kekerasan berbasis gender pun ditunjukkan dalam kehidupan Bete yang setelah pergi bersama Elfredo justru menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, yang akhirnya membuat dirinya depresi karena kehilangan anak.

Dan ketika Bete depresi, ia justru mendapat rantai pasungan dari ayahnya dengan dalih tidak ingin mencegah putrinya berbuat hal yang membahayakan. Pola pikir sang ayah tersebut masih banyak diimplementasikan dalam kehidupan sampai saat ini. 

Pesona Atambua yang berada di Nusa Tenggara Timur tak bisa dipungkiri jadi salah satu daya tarik film ini.

Keindahan alam Atambua yang megah membuat yang menonton ingin berkunjung langsung ke lokasi syuting film tersebut. Dan alam Atambua yang disajikan juga membuat penonton merasa sedang melakukan self healing. 

Film ini juga berani mengambil akhir kisah yang tidak terlalu disukai penonton Indonesia, yang cenderung suka akhir happy ending dengan kedua tokoh utama bersatu cintanya. 

Bete dan Emilio yang sama-sama menyimpan rasa sejak kecil, tak bersatu sampai akhir film lantaran Emilio memilih jadi pastor. Sungguh pas dengan ungkapan bahwa cinta tak harus memiliki.

Meski tak bisa bersatu, namun penonton tidak dibuat larut akan kesedihan kedua pemeran utama. Dan tidak mengajak penonton untuk bersedih akan kisah cinta tokoh utama justru keputusan yang bagus karena realitas di kehidupan bisa saja terjadi seperti itu.

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait