URguide

Sejarah Sukses Kampung Coklat yang Sempat Gagal

Shelly Lisdya, Senin, 31 Januari 2022 17.18 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sejarah Sukses Kampung Coklat yang Sempat Gagal
Image: Kunjungan ibu-ibu Persit Kodam 0822 Bondowosa ke Kampung Coklat Blitar. (Instagram/kampung_coklat)

Jakarta - Urbanreaders pasti sudah tahu belum dengan salah satu wisata di Blitar, Jawa Timur yang sangat terkenal dengan edukasinya. Bahkan, destinasi ini sangat digandrungi oleh kaum hawa loh.

Ya, ialah Kampung Coklat yang terletak di Jalan Benteng Blorok 18, Desa Plosorejo, Kademangan, Blitar. Dahulunya, destinasi ini hanya ratusan meter persegi dibandingkan sekarang loh, guys.

"Awalnya tempat ini hanya 250 meter persegi, untuk mengedukasi ke masyarakat hingga pelajar. Pas kami launching sebagai tempat wisata ini banyak sekali yang datang dan akhirnya bisa jadi seperti sekarang," kata Direktur Pengembangan Bisnis Kampung Coklat, Akhsin Al Fata, dikutip dari YouTube PecahTelur, Senin (31/1/2022).

Namun, tahukah kalian awal mula berdirinya Kampung Coklat ini?

Kesuksesan wisata edukasi ini bermula dari pemilik Kampung Coklat bernama Kholid Mustofa. Diceritakan Akhsin, Kholid mengalami kegagalan beternak ayam petelur di tahun 2004 yang disebabkan oleh mewabahnya virus flu burung.

Kemudian, Kholid mencoba untuk bangkit dengan merawat 120 pohon kakao yang dimiliki oleh keluarga. Pohon kakao tersebut telah ditanam sejak tahun 2000 di lahan seluas 750 meter persegi. 

"Biji kakao yang dipanen dari kebun tersebut laku dijual seharga Rp 9 ribu per kilogram. Akan tetapi penjualannya harus keluar kota yaitu di Sumberpucung, Kabupaten Malang pada seorang tengkulak. Dari situ Pak Kholid berpikir jika kakao yang belum begitu dirawat dengan benar saja mampu dijual dengan harga segitu," lanjut Ahksin.

Pada tahun 2005, Kholid pun mulai serius dengan usahanya dengan magang di PTPN XII di Penataran, Nglegok, Blitar, Jawa Timur. Pada tahun itu juga Kholid belajar di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Di sanalah Kholid mendalami teknik budi daya kakao dengan benar.

Agar usahanya berkembang, Kholid kemudian membentuk kelompok tani Guyub Santoso pada pertengahan 2005. Melalui Gapoktan itu, Kholid mampu mengetahui harga biji kakao kering yang ada di pergudangan Tanjung Perak, Surabaya. 

Harga tersebut jauh lebih tinggi dari pada harga yang ada di tengkulak yaitu Rp 16 ribu per kilogram. Hal itu membuat Kholid semakin optimis untuk dapat menjadi pemasok biji kakao di pabrik olahan. 

Hingga pada akhirnya di tahun 2007, Kholid mendapat kepercayaan untuk memasok biji kakao di pabrik pengolahan cokelat sebesar 3,2 ton per bulan. Biji kakao tersebut dibeli oleh pabrik dengan harga Rp 16 ribu per kg. Pemasokan ke pabrik olahan tersebut telah berkembang menjadi 300 ton per bulan.

Setelah berhasil menjadi pemasok biji kakao, Kholid tidak puas kemudian dia memiliki ambisi untuk mengolah biji kakao menjadi cokelat sendiri. Usahanya untuk dapat membuat cokelat sendiri dilakukan terlebih dahulu dengan mengunjungi pabrik cokelat Monggo, Ceres, dan SilverQueen. Hingga pada akhirnya di tahun 2013 bekerja sama dengan ahli cokelat dari Blitar, Kholid memulai mengolah cokelat sendiri. Namun, usahanya pun terbilang gagal.

Ia pun memutar otak hingga akhirnya Kholid pun membuat wisata edukasi. Destinasi yang berdiri sejak 17 Agustus 2014 ini memiliki harapan dengan adanya kampung wisata ini mampu memberikan pengetahuan tentang budi daya tanaman kakao hingga pengolahan cokelat. 

"Kampung coklat ada tiga bisnis, pertama trading coklat (jual beli biji kakao hingga ke luar negeri), pabrik pembuatan coklat dan wisata edukasi," lanjut Ahksin.

Perjuangan Kholid tidak sia-sia, saat ini Kampung Coklat menjadi salah satu destinasi wisata di Kabupaten Blitar. Setiap harinya pengunjung Kampung Coklat mencapai ribuan orang. Baik untuk berwisata edukasi ataupun menikmati olahan cokelat.

Wisata edukasi ini sebenarnya untuk strategi pemasaran coklat. Akhirnya kita ciptakan wisata ini. Dengan adanya wisata ini, masyarakat tahu betapa kami kaya akan kakao dan kami bisa bikin sendiri coklatnya. Ini yang mau kami edukasikan ke masyarakat secar luas.

"Dengan pariwisata, endingnya mereka pulang bawa oleh-oleh. Nah, ini yang kami siapkan dalam bentuk produk. Tapi secara prinsip punya optimisme ini hanya punya satu komoditi coklat, belum komuniti lainnya. Banyak oleh-oleh terutama yang dicampur dengan coklat. Karyawan kami khususnya juga dijadikan enterpreanur, memasarkan produk coklat itu," tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait