URnews

Selama Pandemi Corona, Beberapa Negara Amankan Pasokan Makanan

Kintan Lestari, Kamis, 26 Maret 2020 15.16 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Selama Pandemi Corona, Beberapa Negara Amankan Pasokan Makanan
Image: Ilustrasi. (Freepik/vikornsarathailand)

Jakarta - Pandemi corona yang merebak ke berbagai negara membuat orang-orang panik dan melakukan panic buying. 

Mereka membeli barang dalam jumlah besar untuk stok selama berdiam diri di rumah. Beberapa oknum bahkan sengaja menimbun barang untuk dijual lagi dengan harga mahal. Akibatnya terjadi kelangkaan barang, terutama peralatan kesehatan dan barang kebutuhan pokok.

Rupanya tak hanya individu saja yang melakukan penimbunan bahan makanan, negara pun juga melakukannya. 

Melansir Bloomberg, beberapa pemerintah sudah bergerak untuk mengamankan pasokan makanan dalam negeri selama pandemi virus corona.

Kazakhstan, salah satu pengirim tepung terigu terbesar di dunia, melarang ekspor produk itu serta produk lainnya, termasuk wortel, gula, dan kentang. Serbia telah menghentikan pengiriman minyak bunga matahari dan barang-barang lainnya. Rusia belum melarang ekspor, namun bukan berati mereka tidak akan melakukannya.

Sejauh ini memang baru Kazakhstan dan Serbia yang melarang ekspor, namun kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan "Apakah ini awal dari gelombang nasionalisme pangan yang selanjutnya akan mengganggu rantai pasokan dan arus perdagangan?"

"Kami sudah mulai melihat ini terjadi - dan yang bisa kita lihat adalah bahwa penguncian akan semakin buruk," kata Tim Benton dari Chatham House di London seperti dikutip Bloomberg.

Meskipun persediaan makanan cukup, rintangan logistik mempersulit untuk mendapatkan produk di tempat yang mereka butuhkan, terlebih setelah virus corona menyebabkan masalah ke tingkat lebih lanjut, yakni panic buying dan ancaman krisis tenaga kerja.

Untuk mencegah hal itu, banyak pemerintah telah menggunakan langkah-langkah ekstrem, seperti menetapkan jam malam dan membatasi kerumunan atau bahkan pada orang-orang yang berani keluar, kecuali untuk mendapatkan hal-hal yang penting. 

Beberapa negara menambah cadangan strategis mereka. Cina yang merupakan penanam dan konsumen beras terbesar, berjanji untuk membeli lebih dari sebelumnya dari panen domestiknya, meskipun pemerintah sudah memiliki stok beras dan gandum dalam jumlah besar yang cukup untuk konsumsi satu tahun.

Importir gandum utama termasuk Aljazair dan Turki juga telah mengeluarkan tender baru, dan Maroko mengatakan penangguhan bea impor gandum akan berlangsung hingga pertengahan Juni.

Apabila langkah-langkah tadi dilakukan banyak negara, maka itu berisiko mengganggu sistem internasional yang semakin saling berhubungan dalam beberapa dekade terakhir.

Kazakhstan telah menghentikan ekspor bahan makanan pokok lainnya, seperti soba dan bawang, sebelum mereka melarang ekspor tepung terigu. Penghentian ekspor tepung terigu akan berimbas pada perusahaan di seluruh dunia yang mengandalkan pasokan tepung terigu untuk membuat roti. 

"Jika pemerintah tidak bekerja secara kolektif dan kooperatif untuk memastikan ada pasokan global, jika mereka hanya mengutamakan bangsa mereka, kamu dapat berakhir dalam situasi di mana segalanya menjadi lebih buruk," kata Benton lagi.

Dia memperingatkan bahwa belanja gila-gilaan ditambah dengan kebijakan proteksionisme pada akhirnya dapat menyebabkan harga makanan yang lebih tinggi.

"Tanpa pasokan makanan, masyarakat benar-benar hancur," ujar Benton.

Tentu saja, beberapa larangan yang diberlakukan mungkin tidak bertahan lama, dan tanda-tanda kembali normal dapat mencegah negara mengambil tindakan drastis. Meski demikian, beberapa harga makanan sudah mulai naik karena lonjakan pembelian.

Pada saat yang sama, dolar AS melonjak terhadap sejumlah mata uang pasar negara berkembang. Hal itu mengurangi daya beli untuk negara-negara yang mengirimkan komoditas.

Pada akhirnya, setiap kali ada gangguan dengan alasan apa pun, Ann Berg yang merupakan konsultan independen dan pedagang pertanian veteran mengatakan, "itu adalah negara-negara paling berkembang dengan mata uang lemah yang paling terluka."

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait