URnews

Soal 'Jokowi 404: Not Found', Pakar: Mural Sebagai Media Kritik

Shelly Lisdya, Sabtu, 28 Agustus 2021 09.34 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal 'Jokowi 404: Not Found', Pakar: Mural Sebagai Media Kritik
Image: Mural Jokowi 404 Not Found yang saat ini telah dihapus. (Ist)

Jakarta - Mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disertai tulisan “404: Not Found” viral di media sosial. Aparat langsung menghapus dan mencari seniman pembuatnya karena dianggap melecehkan simbol negara.

Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Seni Visual dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Irham Nur Anshari menyatakan mural sebagai media penyampaian aspirasi atau kritik menghadapai tantangan. Di era demokrasi saat ini justru patut dipertanyakan masih adanya pihak-pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial yang disampaikan melalui mural. 

“Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hierarki dominan di situ. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” katanya dikutip Urbanasia, Sabtu (28/8/2021).

Ia menjelaskan penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik. Sistem yang tidak lagi mampu menampung aspirasi masyarakat menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya dengan cara mengekspose ke publik baik lewat media online maupun offline termasuk mural

“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi. Tantangan bagaiamana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah labelnya dengan oposisi dan sebagainya,” ucapnya.

Lalu apakah penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif? Irham menyebutkan di era PPKM saat ini di mana masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, penggunaan mural dinilai tidak terlalu efektif untuk menyuarakan pendapat. Terlebih banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau oleh publik seperti di gambar di bawah jembatan. 

Kendati demikkan, Irham menyebutkan yang menjadi menarik di era digital saat ini ialah mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital. Dengan demikian. aspirasi maupun kritik sosial dapat tersampaikan secara luas saat terdistribusikan secara online. 

Selain itu, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini juga mengatakan, sebaiknya penegak hukum perlu memahami kembali apa sebenarnya yang menjadi permaslahan utamanya. Sebab, pada kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan dua hal yakni pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum.

“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena pada kasus tersebut yang dihapus hanya mural yang dianggap sebagai gambar Presiden Jokowi sementara mural lain disampingnya tidak ikut dibersihkan. Ditambah lagi desainer kaos yang menggunakan imaji mural juga ikut didatangi aparat untuk minta maaf,” 

Ia pun menjelaskan, poin utama dari persoalan ini adalah bagaimana adanya anggapan mural/gambar/desain tersebut dianggap melecehkan simbol negara. Namun begitu, apakah gambar tersebut adalah gambar Presiden Jokowi  atau hanya mirip atau  tafsir-tafsir yang berkembang yang justru perlu dipermasalahkan. 

Seperti diketahui beberapa ahli gambar mencoba menafsirkan mural tidak sampai 50 persen memiliki kemiripan dengan Presiden Jokowi. Meski dalam praktiknya dapat dengan secara sederhana menafsirkan gambar dari gaya rambut dan dagu, tetapi hal itu tidak cukup menjadi alasan untuk menentukan mural tersebut sebagai upaya pelecehan presiden. 

“Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar,” katanya.

Irham mengatakan dalam kasus ini menunjukkan poin penting dari seni. Bagaimana seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa bisa diadili secara mutlak. Pasalnya, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video bahkan tidak ada nama yang menyebut gambar tersebut adalah presiden.

“Yang menarik, sebelum mural dihapus sudah ada beberapa orang yang mengambil fotonya dan justru foto asli ini sangat viral. Foto yang tersebar ini menarik minat banyak orang yang belum sempat melihat jadi melihat karena beritanya viral mural itu dihapus. Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati 1 tumbuh 1.000,” tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait