URnews

Soal RUU Cipta Kerja, Pakar: Banyak Benturan dan Ketidakjelasan Rumusan

Nunung Nasikhah, Kamis, 13 Agustus 2020 14.29 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal RUU Cipta Kerja, Pakar: Banyak Benturan dan Ketidakjelasan Rumusan
Image: Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri gelar aksi penolakan RUU Cipta Kerja. (Ilustrasi/FSB Garteks)

Malang – Isu mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja kembali ramai dibicarakan publik setelah muncul sebuah postingan dari akun Twitter @kamalbukankemal tentang banyaknya public figure yang secara terang-terangan mendukung RUU tersebut.

RUU Ombinus Law sendiri memang telah lama menjadi perdebatan publik karena dianggap lebih berpihak pada investor atau pengusaha, sekaligus mengesampingkan hak-hak pekerja seperti gaji dan cuti.

Melalui RUU kontroversial tersebut, pemerintah mengaku akan membuat aturan yang mempersubur iklim usaha di Indonesia. Tujuannya jelas, pemerintah ingin mendorong investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Diketahui RUU yang diklaim akan mendorong pertumbuhan UMKM dan pertumbuhan investasi tersebut memuat 11 bidang besar menyangkut 74 UU yang akan disatukan dalam satu payung hukum.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Abdul Madjid, SH., M.Hum  mengatakan, secara teknis, jika 74 UU tersebut hendak dintegrasikan, maka akan timbul masalah-masalah. Salah satunya yakni terjadinya konflik norma atau kontradiksi antar UU tersebut.

“Mengapa? karena pasti tiap norma punya ratio legis, sistem, diksi, konsepsi, azas, prosedur, tata cara yang berbeda,” ungkap Madjid yang dihubungi melalui Whatsapp, Kamis (13/8/2020).

“Setiap UU itu punya filosofi dan pertimbangan sosiologisnya sendiri, sehingga jika beberapa UU akan disatukan tentunya akan banyak terjadi benturan dan ketidakjelasan rumusan,” lanjut Madjid.

Sebagai solusinya, Madjid mengatakan, seharusnya para pembuat UU tersebut harus melakukan filtering dan lebih selektif memilih mana saja UU yang perlu ditangani.

“Ya seyogyanya tetap seperti sekarang saja. Hanya saja yang dipandang terdapat kelemahan saja yang perlu diperbaiki dan pelaksanaannya harus konsisten,” tegasnya.

Selain berpotensi menyebabkan benturan antar UU, Madjid juga tidak mengelak adanya penolakan dari beberapa pihak yang tidak setuju dengan beberapa aturan di dalam RUU tersebut.

Terlebih mengenai hak-hak pekerja yang dikhawatirkan akan tergerus dengan diberlakukannya RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

“Saya kira kekhawatiran akan perlindungan hak-hak pekerja adalah hal yang wajar, mengingat banyaknya hal-hal yang akan dipadatkan dalam satu UU,” jelasnya.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja yang dibuat untuk memfasilitasi investasi melalui pengumpulan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut akan menuai resistensi dari masyarakat.

“Akan ada bnyak kelompok masyarakat yang akan terdampak karena kerentanan dan keterpinggiran posisi sosial ekonominya,” tandasnya.

“UU tersebut juga (berpotensi) menimbulkan konflik norma dengan UU asalnya karena sistem hukum menghendaki makna, konsepsi serta prosedur yang rigid, prosedural, kepastian hukum serta keadilan substantif dan itu yang secara potensial terlanggar oleh UU Cipta Kerja,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait