URtrending

6 Alasan Buruh Tolak RUU Cipta Kerja

Nivita Saldyni, Kamis, 13 Agustus 2020 11.48 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
6 Alasan Buruh Tolak RUU Cipta Kerja
Image: Aksi Tolak Omnibus Law di Jakarta pada Maret 2020. (Instagram @konfederasikasbi)

Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law kembali menjadi perbincangan publik. Sebab, di tengah desakan para pegiat buruh yang menolak adanya RUU tersebut ternyata pemerintah dan DPR terus membahas pasal demi pasal dalam RUU tersebut.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law terus dikebut.

"RUU Cipta Kerja pembahasannya sudah melebihi dari pada 75%. Diharapkan dalam pembahasan akan dilanjutkan. Ini jadi catatan-catatan karena sangat ditunggu berbagai investor, termasuk Sovereign Wealth Fund (SWF)," kata Airlangga dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional Apindo 2020, Rabu (12/8/2020) lalu.

Seperti yang diberitakan Urbanasia sebelumnya, melalui RUU ini pemerintah berupaya mengatur kemudahan investasi di Indonesia. Sebab RUU Cipta Kerja akan mengakomodasi sejumlah pasal dalam 71 undang-undang yang terkait dengan investasi.

Meski pemerintah menegaskan bahwa RUU ini akan menguntungkan bagi semua pihak, namun para pegiat buruh dengan tegas tetap menolak aturan tersebut. 

Lalu, apa sebenarnya alasan para pegiat buruh menolak RUU Cipta Kerja? Berikut Urbanasia rangkum beberapa alasan para pegiat buruh menolak disahkannya RUU Cipta Kerja :

1. Kenaikan Upah Minimum Semakin Kecil

Para serikat buruh menolak pembahasan RUU Cipta Kerja, salah satunya karena kenaikan upah minimum yang semakin kecil. Seperti halnya dalam keterangan resmi yang diterbitkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada Mei 2020 lalu.

Mereka menyebut pasal 88 D RUU itu menyatakan bahwa kenaikan upah minimun hanya didasarkan pada pertumbuhan produk domestik bruto wilayah provinsi.

Berangkat dari sana, para serikat buruh menilai formula kenaikan upah minimum lebih buruk dari UU No 13/2003 yang mengatur kenaikan upah minimum didiksusikan di Dewan Pengupahan dengan mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak.

Belum lagi pada pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara sebelumnya terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 bahwa penetapan upah dilakukan di provinsi dan juga kabupaten/kota.

2. Hilangnya Berbagai Hak Cuti

Para serikat buruh juga menyoroti rekomendasi Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Kemenkumham yang mengusulkan untuk mengubah atau mencabut sejumlah pasal dalam UU 13/2003.

Pencabutan sejumlah pasal itu dikhawatirkan akan menghilangkan berbagai hak cuti yang sebelumnya terdapat pada UU 13/2003. Salah satunya hak cuti haid yang direkomendasikan dicabut pada Pasal 81 karena dinilai sakit tersebut bisa dihindari dengan meminum obat anti nyeri yang kini semakin mudah didapat seiring kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.

3. RUU Cipta Kerja Berpotensi Hilangkan Uang Penggantian Hak dalam Pesangon Buruh

Berubahnya Pasal 156 UU No 13 Tahun 2003 dalam RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan para buruh. Di mana, dalam UU 13/2003 disebut, selain wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, pengusaha wajib membayar uang penggantian hak.

Namun dalam omnibus law terdapat perubahan Pasal 156 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan itu yang menurut KSPI telah merubah ketentuan di mana uang peng-gantian hak bukan lagi kewajiban yang harus dibayar peng-usaha jika di PHK. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan banyaknya perusahaan yang tidak memberikan uang penggantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama karena bukan menjadi kewajiban.

Apalagi dalam RUU Cipta Kerja tak dijelaskan secara rinci apa saja yang dimaksud dengan uang penggantian hak tersebut.

Namun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pernah mengaku keberatan membayar pesangon jika aturan tersebut tak diubah. Mereka beralasan para pengusaha akan bangkrut jika aturan itu tak diubah.

4. Struktur dan Skala Upah Tak Memperhatikan Golongan, Jabatan, Masa Kerja, Pendidikan, dan Kompetensi

Hal lain yang ditolak para buruh adalah tentang penyusunan strukur dan skala upah yang tak lagi memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja.

Jika dalam Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 disebutkan pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi maka dalam omnibus law pasal itu diubah menjadi 'pengusaha menyusun struktur dan skala upah di perusahaan sebagai pedoman untuk penetapan upah berdasarkan satuan waktu'.

"Lalu apa gunanya golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi jika hal ini tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menyusun strukur dan skala upah? Apakah buruh hanya akan dibayar sesuai dengan upah minimum yang sangat murah?" tulis KSPI dalam keterangan resminya.

5. Sanksi Pidana Bagi Perusahaan yang Melanggar Aturan Dihapuskan

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Joko Haryono pernah mengungkapkan bahwa pihaknya keberatan dengan hilangnya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar.

Menurutnya, penggunaan hukum administratif pada omnibus law membuat para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda yang kurang memberikan efek jera.

"Sekarang sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Padahal kalau dulu ada sanksi pidana. Masuk pidana kejahatan," katanya.

6. Jam Kerja yang Dinilai Eksploitatif

Salah satu alasan lainnya adalah perubahan pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja poin 22.

Dalam pasal tersebut disebut bahwa pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Namun waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Sementara itu, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.

Dengan demikian, Presiden KSPI Saiq Iqbal menegaskan bahwa serikat buruh mendeksak pemerintah mencegah darurat PHK ketimbang membahas omnibus law di masa pandemi ini.

"Selain banyak persoalan yang kemudian ditolak oleh berbagai elemem masyarakat karena mendegradasi tingkat kesejahteraan, omnibus law didesain sebelum pandemi. Dengan demikian, omnibus law bukan solusi untuk mengatasi pandemi," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait