Pakar: Industri Pariwisata Jangan Tergesa-gesa Beroperasi Meski New Normal

Malang - Kebijakan pemerintah untuk melakukan “new normal” di beberapa daerah membawa angin segar bagi beberapa sektor industri yang sangat terdampak seperti pariwisata.
Meski demikian, Pakar komunikasi dan managemen krisis Universitas Brawijaya (UB), Maulina Pia Wulandari, Ph.D justru menyarankan agar industri pariwisata tidak tergesa-gesa untuk beroperasi kembali di masa pemberlakuan new normal life.
“Industri Pariwisata jangan buru-buru untuk beroperasional! Gunakan waktu satu sampai tiga bulan di awal new normal life ini sebagai masa persiapan, masa transisi, dan masa edukasi,” ungkap perempuan yang akrab disapa Pia tersebut.
“Industri Pariwisata harus menghitung dan mempertimbangkan dengan cermat resiko, biaya, dan keuntungan dengan dibukanya kembali dunia bisnis pariwisata," imbuhnya.
Menurut dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB tersebut, yang harus dilakukan oleh pelaku industri pariwisata saat masa transisi adalah mempersiapkan tempat bisnisnya sesuai standar protokol kesehatan yang telah dikeluarkan panduannya oleh Kementrian Ekonomi Kreatif dan Pariwisata RI.
Bukan hanya sekedar clean atau bersih saja, tapi pelaku wisata harus benar-benar menerapkan prinsip lain seperti healthy (sehat), dan safe (aman).
“Pelaku industri pariwisata juga harus melakukan proses latihan atau simulasi penerapan protocol kesehatan di tempat bisnis pariwisatanya sehingga protokol kesehatan menjadi sebuah kebiasaan bagi pelaku industri pariwisata beserta karyawannya,” ujarnya.
Selain itu, Pia mengatakan bahwa pelaku industri pariwisata juga membutuhkan waktu untuk mengedukasi dirinya, karyawan, para wisatawan dan masyarakat di sekitar industri pariwisata untuk disiplin pada protokol kesehatan.
"Dan ini tidaklah mudah untuk mengajak orang lain untuk merubah perilaku masyarakat,” jelasnya.
Pia menegaskan bahwa pelaku industri pariwisata harus benar-benar memperhatikan kebersihan, kesehatan, dan keselamatan semua komponen di industri ini mulai dari proses pemesanan, keberangkatan, kedatangan, aktifitas berwisata, hingga proses kepulangannya.
Jika ada hal yang terlewat, bisa jadi industri pariwisata malah bisa menjadi pemicu terjadinya second wave pandemic COVID-19.
Alumni program doctoral University of Newcastle tersebut juga mengatakan, pelaku industri pariwisata harus mulai menyusun strategi komunikasi pemasaran yang lebih disesuaikan dalam masa transisi.
Strategi komunikasi pemasaran bagi industri pariwisata saat ini bukan berorentasi pada penjualan tapi justru lebih fokus pada kampanye yang bertujuan edukasi kepada semua komponen dalam industri. Terutama pada wisatawan tentang protokol kesehatan di tempat-tempat dan bisnis pariwisata.
“Kampanyenya harus menyampaikan pesan bahwa tempat wisata, hotel, transportasi, dan pusat oleh-oleh yang akan didatangi wisatawan bersih, sehat dan aman. Karena masalah inilah yang menjadi kekhawatiran bagi wisatawan untuk melakukan kunjungan wisata ke sebuah tempat,” papar Pia.
Pesan-pesan dalam kampanye itu, menurutnya, bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti mengunggah foto-foto kegiatan bersih-bersih di tempat wisata di sosial media, membuat video sederhana yang menunjukkan kesiapan fisik tempat wisata sesuai protokol kesehatan.
“Mengunggah berbagai poster dan video yang menarik tentang protokol kesehatan yang harus ditaati selama mengunjungi tempat wisata,” tuturnya.
Dari setiap pesan yang disampaikan secara terus-menerus di berbagai saluran komunikasi seperti sosial media dan media massa, maka menurutnya, wisatawan dan pelaku industri pariwisata akan merasa yakin bahwa industri pariwisata kita bersih, sehat, dan aman untuk dikunjung.