Penyintas Kanker Paru Dorong Pemerintah Prioritaskan Pasien dalam Kebijakan

Jakarta - Kanker paru masih menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat. Pasalnya, penyakit yang satu ini masih menjadi penyebab kematian terbesar baik di dunia maupun di Indonesia.
Menurut data Globocan 2022, kanker paru di Indonesia menyumbang 9,5% dari seluruh kasus kanker, serta menjadi penyebab 14,1% kematian akibat kanker.
Hanya saja, fatalnya akibat kanker paru ini belum dibarengi dengan penanganan yang cukup. Sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam mengakses terapi dan obat inovatif.
Salah satu contohnya adalah terapi target. Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua untuk kanker paru, padahal inovasi pengobatan sudah berkembang hingga generasi ketiga.
Secara anggaran juga masih terbatas. Menurut data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020-2021 hanya sekitar 2,1% atau Rp73 Miliar dari total anggaran kanker yang mencapai Rp3,5 Triliun.
Fakta-fakta ini mendorong sejumlah pihak menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Salah satunya Patricia Susanna, penyintas kanker paru.
Patricia mengatakan, dirinya tidak hanya menanggung beban sakit kanker paru, tetapi juga mengalami tekanan psikologis, beban ekonomi, dan stigma sosial.
“Intervensi pemerintah sangat penting untuk meringankan beban kami, agar mendapat layanan dan pembiayaan yang inklusif, serta akses terhadap terapi inovatif yang spesifik,” katanya saat wawancara Bulan Kanker Paru Sedunia, Rabu (27/8/2025).
Hal yang sama juga disuarakan oleh organisasi pasien, Indonesian Cancer Information and Support Association (CISC).
Menurut Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri, pemerintah sudah saatnya menjadikan akses terhadap obat inovatif dan kebijakan kesehatan preventif sebagai prioritas nasional.
“Negara harus menempatkan kebutuhan pasien sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Ariyanthi menambahkan, akses terhadap terapi dan obat inovatif harus jadi agenda nasional. Di samping itu, para pasien juga harus didukung dengan pembiayaan publik yang berkelanjutan, proses sederhana, dan transparan.
Dukungan-dukungan itu sangat penting bagi pasien. Ariyanthi menekankan, kanker adalah penyakit katastropik dengan pengobatan jangka panjang, yang mustahil ditanggung sendiri oleh pasien.
Sehingga, ia mendorong JKN menjamin hak pasien untuk memperoleh pengobatan terbaik sesuai kebutuhan mereka, tak terkecuali para pasien kanker paru.
“Pasien juga berhak didengar serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” imbuhnya.