URnews

4 Puisi untuk Ibu Karya Sastrawan Indonesia 

Fauzah Thabibah, Selasa, 8 Maret 2022 20.29 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
4 Puisi untuk Ibu Karya Sastrawan Indonesia 
Image: Puisi untuk ibu/Freepik by jcomp

Jakarta - Ibu bagaikan malaikat yang dikirim Tuhan untuk kita. Jika kamu ingin memberikan hadiah puisi indah kepada ibu, berikut 4 puisi karya sastrawan Indonesia yang bisa Urbanreaders berikan untuk ibu. 

Kamu bisa mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih untuk ibu melalui bait-bait puisi yang indah. Rayakan momen membahagiakan dengan menulis atau membaca puisi tersebut di hadapan ibu.

FYI, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Biasanya dalam sebuah puisi mengandung diksi-diksi indah, Urbanreaders.

Meski puisi yang dikarang sendiri terasa lebih mengharukan, namun dengan memberi puisi karya sastrawan Indonesia pun bukanlah hal yang buruk, Guys. Berikut puisi untuk ibu karya sastrawan Indonesia.

1. Puisi ‘Ibu’ Karya Chairil Anwar

1646745701-foto-4-rawpixel.com-freepik-puisi-ibu-(1).jpgSumber: Puisi untuk ibu/Freepik by Rawpixel

Pernah aku ditegur

Katanya untuk kebaikan

Pernah aku dimarah

Katanya membaiki kelemahan

Pernah aku diminta membantu

Katanya supaya aku pandai


Ibu...

Pernah aku merajuk

Katanya aku manja

Pernah aku melawan

Katanya aku degil

Pernah aku menangis

Katanya aku lemah


Ibu...

Setiap kali aku tersilap

Dia hukum aku dengan nasihat

Setiap kali aku kecewa

Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat

Setiap kali aku dalam kesakitan

Dia ubati dengan penawar dan semangat

dan bila aku mencapai kejayaan

Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun...

Tidak pernah aku lihat air mata dukamu

Mengalir di pipimu

Begitu kuatnya dirimu...


Ibu...

Aku sayang padamu...

Tuhanku....

Aku bermohon pada-Mu

Sejahterahkanlah dia

Selamanya…


2. Puisi ‘Ibu’ Karya Sapardi Djoko Damono

1646745687-foto-1-puisi-ibu-jcomp.jpgSumber: Puisi untuk ibu/Freepik by jcomp


Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua.

Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku

Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja dari rumah kami.


Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam, menyapu sampah, dan kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga.

"Ayahmu bukan pemimpi," katanya yakin meskipun tidak berapi-api, "Ia tahu benar apa yang terjadi."


Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah, Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota.

Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah, mengirim doa.


Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja.

"Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya."


Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega.

Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan menyusui anak-anaknya.


"Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu," kata Ibu selalu, "Meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauan-igauanmu."

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait