URsport

Alasan Fans Sepak Bola Tak Setuju ESL Digelar

Nivita Saldyni, Kamis, 22 April 2021 22.46 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Alasan Fans Sepak Bola Tak Setuju ESL Digelar
Image: European Super League (Foto: Press Association)

 

Jakarta – Perbincangan tentang European Super League (ESL) kian memanas sejak beberapa hari terakhir. Perdebatan pun terjadi di antara para fans sepak bola, seperti halnya yang disampaikan oleh Roberto Pieter, fans Manchester United dan Kristyandi, fans AC Milan dalam URtalks, Kamis (22/4/2021).

Dalam URtalks bertajuk ‘Pro Kontra ESL, Tandingan UEFA’ lewat live Instagram bersama Urbanasia, mereka menyebutkan ada beberapa alasan yang membuat keduanya tak setuju jika ESL harus digelar. Kira-kira apa saja? Yuk simak alasan dua fans dari klub yang berbeda ini!

Merubah Tatanan Pertandingan dan Hanya Menguntungkan Pemilik Klub

Sebagai fans, Robert mengaku kehadiran ESL bakal mengubah tatanan sepak bola yang selama ini ada dan malam menguntungkan bagi klub-klub raksasa.

“Sebenernya ada dua sudut pandang sih di sini. Kalau dari sudut pandang fans, ESL ini memang merubah tatanan yang udah pernah ada. Jadi tradisi piala FA segala macem, liga, lalu yang lolos ke UEFA Champions League (UCL). Jadi ini ngerusak tatanan yang udah ada,” kata Robert.

Baca Juga: Banyak Klub Mundur, European Super League Ditangguhkan 

“Ditambah lagi kalau dari sudut pandang pemain, mereka dirugikan dengan gaji yang segitu-segitu aja dan kompetisinya semakin banyak. Keuntungan ESL itu untuk klub,” tegasnya.

Sebab ketimbang untuk sepak bola dan fans, Robert melihat bahwa ESL adalah permainan bisnis yang hanya menguntungkan para pemilik klub. Apalagi ditambah dengan pandemi COVID-19 yang membuat klub-klub bola ikut merugi.

“Sebenernya kalau kita tarik mundur latar belakang semuanya ini adalah pandemi. Karena pandemi, klub merugi makanya dibuatlah ESL dengan daya tariknya dengan pembayaran hadiah yang besar, bahkan lima kali lipat, bukan tiga kali lipat. Jadi dari sisi bisnis ini menguntungkan owner klub, makanya mereka membuat ini,” jelasnya.

Daripada membuat kejuaraan tandingan, Robert menilai ada baiknya untuk membuat gerakan-gerakan untuk memprotes UEFA yang selama ini dinilai tak transparan.

“Jadi ibaratnya kenapa adanya ESL ini adalah ada busuknya UEFA juga, ada rasa ketidakpuasan makanya mereka membuat sendiri piala tandingannya UCL,” pungkasnya.

“Fenomena ESL ini disikapinya harusnya kita sebagai fans atau klub yang komplain sama UEFA. Harusnya mereka yang didemo, bukan kita buat kejuaraan tandingan. Kita mogok main aja misalnya untuk menurunkan pengurusnya UEFA karena mereka korup atau apa. Contoh deh, kaya negeri ini. Kita gak puas sama pemerintahan kan kita nuntut pemerintahannya mundur, bukan kita bikin negara tandingan. Iya dong?” ungkap Robert melanjutkan.

Sehingga menurutnya kepengurusan UEFA lah yang harusnya ditegakkan, bukan malah bikin pengurus tandingan. Ketimbang memikirkan sepak bola, menurut Robert hal ini malah merugikan fans dan pemain

Baca Juga: Liga Champions Punya Format Baru, Mirip European Super League 

“Apalagi pemain gak boleh belain timnas, kan kasihan. Kalau ini bisa berjalan beriringan gak masalah, cuma ini kan dari FIFA gak terima,” imbuhnya.

Sementara dari sisi format pertanding, menurut Robert format ELS belum tepat. Terlebih sangat tidak adil bagi klub-klub kecil.

“Kalau untuk format ESL ini sebenernya sangat tidak adil untuk klub-klub kecil karena mereka tidak bisa merasakan kan pada akhirnya. Tapi kalau memang dikhususkan untuk yang super, ya berarti yang paling super aja. Karena saya lihat ESL ini saya lihat masih ada satu liga empat klub, bahkan enam. Jadi belum bisa dibilang super, harusnya dibilang super itu ya juaranya aja. Jadi format UCL tetap ada, untuk yang super league ini bener-bener ada juga tapi yang juaranya aja. Jadi liga champions jaman dulu, itu sangat fair. Hadiahnya juga akan dikhususkan untuk yang juara liga,” paparnya.

Merugikan Para Pemain

Sepakat dengan Robert, sebagai fans sepak bola, Kris menilai bahwa ESL telah mengubah tatanan sepak bola. Meskipun jika dari sudut pandang fans AC Milan ia cukup senang, apalagi tim kesayangannya tak pernah masuk UCL selama enam tahun terakhir dan mendapatkan uang kepesertaan jika memenuhi undangan tampil sebesar 350 juta euro.

“Kalau saya pribadi, kalau mau buat super league kenapa gak kaya dulu, yang juara aja yang ikut. Dulu seru tuh,” ungkapnya.

“Cuma memang benar kata Bang Robert kalau mengubah tatanan kaya pertandingan semakin banyak, terus pemain kaya diperah aja sih tenaganya,” imbuh Kris.

Menurutnya beda cerita jika keduanya bisa berjalan beriringan. Atau bisa juga kalau super league tetap digelar namun hanya para juara liga saja yang tampil.

“Jadi juara tiap liga ikut. Jangan klubnya cuma 12 tim apa 15 tim apa 20 tim, gak ada degradasi. Kalau mau buat super league, juara liga aja ikut,” kata Kris.

Sementara saat disinggung soal berbagai larangan dari UEFA dan FIFA kepada para peserta ESL, Kris menilai hal itu sebenarnya bukan kerugian besar bagi pemain. Sebaliknya, UEFA dan FIFA yang akan rugi karena kehilangan pemain-pemain top mereka.

“Kalau melarang ini itu ini itu, yang rugi malah UEFA sendiri dan FIFA. Bayangin aja kalau UEFA dan FIFA tanpa Ronaldo, Messi, Haaland, Mbappe, ya pasti balik lagi TV-TV agak mikir juga tentang kontrak,” jelasnya.

Baca juga : Soal Polemik European Super League, Begini Tanggapan Milenial 

Sementara jika dlihat dari format kompetisinya, baik ESL maupun UCL sama saja. Sama-sama tak ada yang lebih baik.

“Champions League kan juga baru saja mengumumkan format baru kan? Dari 32 tim dari 36 tim. Kalau lihat formatnya, saya juga teliti tuh waktu hari Senin saya baca, ‘yah formatnya sama aja juga sama ESL’. Jadi kalau menurut saya, gara-gara ada ESL ini akhirnya membuat format yang hampir sama tapi pertandingan juga jadi banyak,” ungkapnya.

“Cuma kalau saya lihat-lihat lagi ini sih ujung-ujung duit. Jadi saya sih yakin Champions League atau European Leauge pasti kotaknya gede banget tuh sama televisi yang sampai sekarang kita gak tahu,” kata Kris melanjutkan.

Kris mengaku yang seringkali ditakutkan para fans adalah pemain digaji kecil, diperes keringetnya tapi yang kaya pemilik klub. Hal ini lah yang membuatnya menentang adanya ESL.

“Itu yang saya gak setuju tentang super league ya itu,” katanya.

“Tapi kalau saya jujur aja suruh jawab (pro atau kontra) ini agak susah. ESL saya bilang sebetulnya tujuannya baik tapi ada maksud yang tidak baik. Sedangkan dari UEFA dan FIFA korupsinya gede. Jadi saya balik lagi, kalau dari fans sepak bola kok kurang bagus ya ESL dengan format yang sekarang dengan fee tampil 350 juta dan lain-lain. Tapi kalau saya sebagai fans die hard AC Milan ya senenglah dapt 350 juta. Dengan uang segitu saya yakin AC Milan bisa berjaya kembali,” tegasnya.

Ia pun berharap semoga masalah ini berakhir dengan damai. Ia ingin, kedua pihak segera duduk bersama dan membicarakannya dengan baik-baik.

“Saya pingin mereka duduk bareng dan ada negosiasi yang sama-sama menguntungkan. Saya juga berharap di Eropa itu satu aja, tapi pemain harus diperhatikan, klub juga perlu dperhatikan apalagi dalam pandemi begini,” tutupnya.

 

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait