URnews

Soal Polemik European Super League, Begini Tanggapan Milenial

Anisa Kurniasih, Rabu, 21 April 2021 13.13 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal Polemik European Super League, Begini Tanggapan Milenial
Image: 14 Klub Premier Tolak European Super League. (Twitter @premierleague)

Jakarta - European Super League (ESL) hingga kini masih menjadi polemik dan perbincangan berbagai kalangan termasuk para milenial. Terbaru, beberapa klub peserta European Super League dikabarkan mundur setelah mendapat tentangan dari banyak pihak. Mau tak mau operator pun harus menangguhkan kompetisi itu sementara waktu.

Awal pekan ini, 12 tim mengumumkan terbentuknya European Super League dengan Real Madrid dan Juventus sebagai inisiator utamanya. Kompetisi ini nantinya akan mempertemukan tim-tim besar setiap pekannya.

Tak cuma itu, rencananya bakal ada hadiah uang dalam jumlah besar menanti setiap tim yang ikut bermain di sana. Bahkan tim yang baru ikut saja bisa mendapat uang tampil 300 juta paun, guys.

Tapi, gelombang protes langsung deras dalam kurun waktu 48 jam setelah pengumuman European Super League. Bahkan para pemain yang terlibat di European Super league yang awalnya diam seribu bahasa, langsung menyerukan protesnya di sosial media.

Tak cuma itu, suporter juga melakukan unjuk rasa di depan stadion masing-masing tim. Mau tak mau hal ini membuat enam peserta asal Inggris memutuskan mundur.

Setelah Liverpool dkk mencabut keikutsertaannya, giliran duo Serie A AC Milan dan Inter Milan melakukan hal serupa. Dengan mundurnya tim-tim itu, European Super League yang tinggal menyisakan empat tim akhirnya menangguhkan dulu kompetisi itu.

Lantas, apa komentar para milenial tentang polemik European Super League ini?

Urbanasia pun berhasil mengumpulkan sejumlah narasumber untuk menyampaikan pandangannya terkait hal tersebut. Seperti Gilar Sagita yang merupakan seorang designer muda. Ia menyatakan bahwa hadirnya kompetisi sepakbola seperti European Super League dinilai tidak menghargai jerih payah klub kecil di liga yang berjuang tiap tahun.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Urbanasia.com (@urbanasiacom)

“Miris sih liatnya, apalagi yang ngusulin kompetisi ini para petinggi dari klub bola gede. Jadi ilang seni bolanya, biasanya kita nonton bola itu ada masanya nunggu "Big Match", nah kalo ada kompetisi ini hampir setiap minggu dong big matchnya, jadi ga seru,” ungkapnya.

Dan kompetisi ini sama sekali nggak ngehargain jerih payah klub kecil di liga, mereka berjuang tiap tahunnya dan punya mimpi buat naik ke klasemen atas biar sejajar sama klub-klub gede di liga tersebut,” kata Gilar.

Sementara itu, Herdanang yang berprofesi sebagai jurnalis berkomentar, jika memang ingin membuat liga baru, semestinya didiskusikan dahulu dengan klub-klub yang non-inisiator. Pasalnya, keluarnya 12 klub itu berpengaruh juga ke pendapatan dan keberlangsungan sisa klub lain di liga domestik masing-masing.

“Kalau emang mau bikin liga baru, mestinya dirembuk dulu sama klub-klub lain yang non-inisiator. Gimanapun keluarnya 12 klub itu kan berpengaruh juga ke pendapatan dan keberlangsungan sisa klub lain di liga domestik masing-masing. Pemilik ke-12 klub mestinya juga melibatkan pemain, pelatih dan official dalam pengambilan keputusan. Toh yang akhirnya main bola kan mereka, bukan pemilik-pemiliknya.” kata Herdanang.

Kemudian, komentar lain juga diutarakan oleh Rezy, seorang karyawan swasta. Menurutnya, adanya ESL justru menjadi momentum revolusi industri dalam dunia sepakbola, guys.

“Menurut gw adanya ESL menjadi momentum revolusi industri dalam dunia sepakbola. Ketika melihat dari sudut bisnis tim yg gabung di ESL akan lebih diuntungkan secara finansial, namun ketika melihat dari sudut penikmat / suporter tentu sangat dirugikan karena euforia sepakbola sudah tidak ada keseruan lagi karena mungkin sudah tidak adanya drama & rivalitas perebutan piala liga champions & europa league,” kata Rezy.

Selanjutnya, karyawan swasta lain bernama Fadel dan Hermas turut memberikan pandangannya terkait ESL ini. 

“Jangan hukum pemainnya. Hukum mafia nya,” seru Fadel.

Sepakbola itu tentang fairplay, dan tentang fans. Bagaimana bisa sepakbola digunakan memanfaatkan fans untuk meraup keuntungan pemilik klub, dengan menghilangkan aturan fairplay, di mana tidak ada klub yang terdegradasi di kompetisi liganya? Gw rasa sepakbola sekarang ini telah jauh berkembang, tapi ke arah yang tak semestinya,” tutup Hermas.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait