URtrending

COVID-19 Nggak Kuat Hidup di Cuaca Indonesia? Ini Hasil Riset Tim BMKG

Nunung Nasikhah, Sabtu, 4 April 2020 13.30 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
COVID-19 Nggak Kuat Hidup di Cuaca Indonesia? Ini Hasil Riset Tim BMKG
Image: Kondisi cuaca di Jakarta. (Ilustrasi/Pixabay)

Jakarta – Belakangan ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan pernyataan pemerintah yang ungkapkan bahwa iklim tropis Indonesia berpengaruh terhadap lemahnya perkembangan virus corona.

Pernyataan tersebut rupanya didasarkan pada hasil kajian atau riset yang dilakukan oleh tim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada (UGM).

“Menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah COVID-19, sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020),” tulis BMKG dalam keterangan resminya yang diterima Urbanasia, Sabtu (4/4/2020).

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati juga membenarkan bahwa pihaknya telah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran COVID-19 tersebut.

Hasil analisis Sajadi bersama tim (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) juga menunjukkan sebaran kasus COVID-19 pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate.

Dengan begitu, dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.

Sementara berdasarkan penelitian Chen dan tim (2020) dan Sajadi (2020) ditemukan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8-10 °C dan kelembapan 60-90%.

“Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus COVID-19.  Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi COVID-19,” ungkap BMKG.

Tak hanya itu. Penelitian oleh Bannister-Tyrrell dan tim (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur di atas 1 °C dengan jumlah dugaan kasus COVID-19 per-hari.

“Mereka menunjukkan bahwa bahwa COVID-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah yakni 1 – 9 °C. Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus COVID-19 harian akan semakin rendah,” jelas BMKG.

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Wang dan tim (2020) yang menunjukkan bahwa serupa dengan virus influenza, virus corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering. 

Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan "host immunity" seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus.

Araujo dan Naimi (2020) juga menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat. Akhirnya, kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.

BMKG menambahkan beberapa penelilitian itu  mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi. Tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua.

“Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial,” tandasnya.

Selain itu, jika melihat kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19.

“Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 - 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19,” katanya.

Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh. Bukan dari faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia.

Laporan Tim BMKG-UGM juga merekomendasikan bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam mengurangi risiko penyebaran wabah COVID-19.

“Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti,” tulis BMKG.

“Serta tentunya dengan lebih ketat menerapkan "Physical Distancing" dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan "tinggal di rumah", disertai intervensi kesehatan masyarakat. Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif,” tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait