URtrending

Curhat di Twitter, Dokter Ini Ungkap Buruknya Penanganan COVID-19 di Surabaya

Nivita Saldyni, Rabu, 27 Mei 2020 12.47 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Curhat di Twitter, Dokter Ini Ungkap Buruknya Penanganan COVID-19 di Surabaya
Image: Pemkot Surabaya gelar rapid test massal. (Humas Pemkot Surabaya)

Surabaya – Netizen kembali digegerkan dengan pengakuan seorang dokter di salah satu rumah sakit rujukan COVID-19 di Kota Surabaya, Selasa (26/5/2020) lalu. Dalam sebuah thread Twitter, dokter bernama Aditya Caksana Janottama ini membongkar fakta tentang penanganan COVID-19 di Kota Surabaya.

Dalam thread tersebut, dokter yang mengaku bertugas di salah satu rumah sakit rujukan di Surabaya itu menilai bahwa penanganan COVID-19 di Kota Surabaya sangat buruk.

“Oke kalau gitu kita mulai saja…SEBUAH UTAS tentang bobroknya penanganan COVID-19 di Surabaya,” tulis pemilik akun @caksana di Twitter, Selasa (26/5/2020) malam.

Dalam thread ini, Urbanreaders merangkum enam poin utama yang menjadi dasar Caksana menilai penanganan COVID-19 di Surabaya yang kurang efektif. Berikut enam bukti buruknya penanganan pasien COVID-19 di Surabaya menurut Caksana:

1. Kesiapan Rumah Sakit Penanganan COVID-19 di Kota Surabaya

Dari 15 RS rujukan yang ada untuk penanganan COVID-19 di Surabaya, Caksana mengatakan bahwa masing-masing memiliki kesiapan yang berbeda dan fasilitas yang tak merata.

“Ada yang punya ventilator, ada yang tidak. Ada yang ICUnya siap untuk COVID-19, ada yang tidak. Ada yang kamarnya pakai exhaust, ada yang pakai angina jendela,” katanya.

Untuk itu pasien tentu tidak mendapatkan perlakuan yang sama, tergantung dari kemampuan rumah sakitnya masing-masing. Hal ini diperparah dengan bantuan yang tak kunjung diberikan. Menurutnya sejauh ini Pemkot baru memberikan satu uni ventilator untuk RS Husada Utama, sementara rumah sakitnya bertugas belum dapat bantuan.

Belum lagi, RS tambahan rujukan yang digunakan oleh Pemprov Jatim juga dinilai tidak terlalu efektif karena pemeriksaan yang tidak lengkap. Hal ini membuat penanganan kurang tepat dan cepat.

2. Laboratorium Pemeriksaan COVID-19 Tak Terima Sampe Menjelang Lebaran

Caksana menyayangkan tiga laboratorium pemeriksaan COVID-19 yang ikut libur dan tak menerima sampel baru menjelang Hari Raya Idulfitri. Ia pun memberikan bukti foto pemberitahuan libur salah satu lab di Surabaya ini.

“Ini salah satu lab di Surabaya. Tapi ketiganya sama, tidak menerima sampel baru selama libur hari raya. Jadi pasien baru dari tanggal 21 (Mei) kemarin baru bisa diswab sekarang (26 Mei). Nunggu hasil kurang lebih 3-5 hari karena banyaknya sampel. Bisa2 pasiennya keburu meninggal hasilnya baru ketahuan,” ungkap Caksana.

Parahnya, ia mengungkapkan bahwa salah satu lab juga ikut terkontaminasi dengan adanya beberapa karyawan yang terpapar COVID-19. Begitu juga yang terjadi dengan tenaga kesehatan dan dokter di berbagai rumah sakit rujukan.

Namun lagi-lagi tidak ada bantuan nyata yang didapatkan pihaknya dari Pemkot Surabaya, melainkan hanya surat edaran yang meminta dokter dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan dan lebih ketat menerapkan protokol kesehatan dengan menggunakan APD level 3 saat memberikan layanan kepada pasien.

3. Proses Pemakaman Pasien COVID-19 yang Sulit dan Membebani Keluarga Korban

Caksana menilai proses pemakaman pasien COVID-19 di Surabaya cukup ribet. Sebab hanya menerima pasien ber-KTP Surabaya atau yang memiliki ahli waris dengan KTP Surabaya. Belum lagi, harga pemakaman yang mahal perlu disiapkan oleh keluarga korban.

“Pemakamannya mahal, biaya yang diberikan Kemenkes tidka cukup untuk nombokin. Alhasil keluarga pasien kudu nambah. Ternyata petugas makam di Surabaya itu maunya Cuma ngeduk makam terus nimbun. Gam au tuh bantu-bantu ngangkat jenazah di dalam peti terus turunin ke liang lahat,” imbuhnya. Tak heran kalau biaya pemakaman yang harus ditanggung keluarga makin membengkak.

4. Penyemprotan Disinfektan ke Gedung Bertingkat dinilai Sia-sia

“BUAT APA ANJIIIIIR? KAYA GA ADA KERJAAN LAIN AJA,” kata Caksana mempertanyakan aksi Pemkot Surabaya yang menyemprotkan cairan disinfektan ke gedung-gedung bertingkat.

Menurutnya hal itu tidak terlalu dibutuhkan dan membuang-buang waktu. Namun, ia mengaku setuju jika hal ini dilakukan di rumah, pusat keramaian, jalan raya, dan juga kendaraan pribadi.

Menurutnya penyemprotan disinfektan ini kurang efektif apalagi alat disinfeksi yang digunakan Pemkot dinilai masih jauh dari kata sempurna.

5. Isu Perusahaan Melarang Karyawan ke RS

Caksana mengungkap banyak perusahaan yang masih nekat buka di tengah pandemic COVID-19. Parahnya, pihak perusahaan melarang para karyawannya ke rumah sakit karena tak ingin masalah menjadi heboh jika ditemukan salah satu karyawan positif COVID-19.

“Di masa corona ini, modusnya lebih gila lagi. Karyawan ga boleh ke RS atau ancaman SP/pemecatan. Ada salah satu istri pasien yang nangis2 mohon ga dicatat sebagai ODP padahal gejalanya cocok. Akhirnya dia pulang atas permintaan sendiri karena masalah ini,” pungkasnya.

6. PSBB Tidak Efektif

Menurutnya PSBB di Surabaya taka da bedanya dengan tidak ada PSBB. Sebab, jalanan tetap ramai, kafe tetap buka, dan banyak yang tidak pakai masker ke luar rumah. Hal ini diperparah dengan penjagaan yang menurutnya mulai kendor.

Belum lagi, toko-toko di mall yang buka bukan hanya untuk keperluan pangan dan obat, beragam toko pakaian dan barang-barang lain yang dinilai kurang ada urgensi di masa pandemi ini tetap dibuka.

Hal ini membuatnya semakin mempertanyakan posisi Pemkot Surabaya dalam penanganan COVID-19. Padahal kasus di Surabaya makin menggila dengan adanya 2.118 orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 hingga Selasa (26/5/2020).

Kini, thread Caksana itu telah disukai lebih dari 10 ribu akun dan telah diretweet lebih dari 5 ribu kali. Namun, sayangnya hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan dari pihak Pemkot mengenai curhatan Caksana ini.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait