URnews

Dosen UGM Nilai Tarif Mahal Tak Jamin Candi Borobudur Lebih Terjaga

Nivita Saldyni, Senin, 6 Juni 2022 18.55 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dosen UGM Nilai Tarif Mahal Tak Jamin Candi Borobudur Lebih Terjaga
Image: Candi Borobudur (Foto: Pixabay/qwertyvied)

Jakarta – Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Margana menilai rencana pemerintah terkait penetapan tarif naik ke bangunan Candi Borobudur untuk turis lokal sebesar Rp 750 ribu bersifat diskriminatif. Terlebih kebijakan ini menurutnya tak memiliki rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Otomatis kalau tiketnya mahal yang bisa datang dan mampu naik ke atas kan hanya orang yang kaya. Ini kebijakan yang agak diskriminatif. Dia (kebijakan ini) seperti menciptakan kastanisasi, seperti zaman Hindu dulu. Nah ini kasta rendah yang nggak punya uang nggak bisa naik (ke badan candi), sementara kasta yang tinggi yang punya uang bisa naik. Nah itu tentu saja dari sisi rasa keadilan tidak ada,” kata Margana saat dihubungi Urbanasia pada Senin (6/6/2022).

Menurutnya kebijakan ini malah akan menimbulkan kesenjangan dan memicu rasa iri di antara pengunjung satu dan lainnya. Padahal menurutnya belum tentu mereka yang bisa naik karena membeli tiket memiliki perilaku yang lebih baik daripada wisatawan lainnya. 

“Bayangkan nanti kita sama-sama berkunjung nih. Saya bisa naik, Anda tidak. Kan seperti candi ini jadi ‘pertunjukan’ orang-orang yang berduit. Sebanyak 1.200 orang boleh naik karena mereka bisa bayar Rp 750 ribu, terus ribuan orang lain yang gak bisa naik hanya melihat tingkah laku mereka yang naik ke atas. ‘Wah ini pertunjukan orang-orang kaya’. Jadi rasa keadilannya gak ada di situ,” bebernya Margana.

“Lagipula tidak ada jaminan orang yang kaya dan mampu membeli tiket Rp 750 ribu itu dia punya perilaku yang lebih baik daripada orang yang tidak punya duit. Dan lagi kebijakan ini kan logikanya orang yang berduit lebih bisa berperilaku baik, itu merendahkan orang yang tidak punya duit,” sambungnya.

Selain masalah keadilan, Marga menilai rencana tersebut juga tak tepat dilakukan karena masalah preservasi atau pemeliharaan dan perlindungan candi tak berhubungan dengan harga tiket. 

“Jadi kalau kita lacak, masalahnya adalah Candi Borobudur itu kan umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun. Kemudian menurut catatan, fisiknya sudah tidak lagi mampu menampung beban begitu banyak orang yang naik ke badan candi karena disinyalir sudah ada penurunan tanah yang membuat perubahan fisik seperti kemiringan candi dan sebagainya. Jadi bisa membahayakan situs itu dan membahayakan pengunjungnya sendiri kalau terjadi sesuatu,” ujarnya.

Ia menyebut masalah yang dihadapi Candi Borobudur saat ini adalah perilaku pengunjung yang tak ramah terhadap preservasi situs. Oleh karena itu menurutnya solusi terbaik adalah dengan menyetop wisatawan untuk naik ke badan candi. Sehingga pengunjung tak boleh lagi naik ke badan candi dan dibatasi hanya sampai ke pelataran candi.

“Mau diberi harga tiket berapapun, Rp 10 juta sekalipun, tapi kalau 1.200 orang yang dibatasi itu masih diperkenankan naik maka persoalan preservasi candi itu tidak terpecahkan. Itu persoalannya adalah bagaimana perilaku pengunjung yang tidak ramah terhadap preservasi situs. Misalnya penggunaan sepatu yang bisa mempercepat korosi candi, atau sikap-sikap lain yang bisa memperburuk kondisi situs atau yang tidak ramah terhadap situs,” terang Margana.

“Jadi nggak ada gunanya menaikkan tiket kalau mereka yang bisa beli tiket tetap naik ke atas candi karena persoalan yang membahayakan situs dan pengunjung akan tetap terjadi,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait