Dulu di PHK Akibat COVID-19, Kini Sukses Jadi Eksportir Ubi Madu

Jakarta - Pandemi COVID-19 membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan. Hal itu juga dirasakan oleh Muhammad Khairul Umam, pria asal Desa Ngepanrejo, Kecamatan Bandongan, Magelang.
Mengutip dari kanal YouTube Cap Capung pada Selasa (25/1/2022), Khairul yang dulu bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta, kini memutuskan pulang kampung dan menjadi petani ubi madu.
“Awalnya bulan Maret 2020, saat awal pandemi Corona. Saya kena PHK karena kantor tidak bisa beroperasi. Akhirnya saya pulang ke Magelang,” kata Khairul.
Saat di kampung halamannya ini, Khairul meniatkan diri untuk mencoba bertani dan memilih ubi madu sebagai tanaman yang akan ia kembangkan. Sebelum mulai bertanam, Khairul lebih dulu melakukan riset pasar, hingga akhirnya di ekspor.
“Tau kalau orang Jepang, Korea, Singapura suka ubi madu itu dari internet. Lalu saya ada teman eksportir, saya tanya bahan makanan apa yang bisa diekspor, dijawab ubi madu. Jadi saya sudah tahu pasar sebelum menanam,” ujarnya.
Ide untuk menanam ubi madu ini secara mandiri dilakukan Khairul dengan cara bekerja sama pemilik lahan di desanya. Kini sudah banyak petani yang menjadi mitra Khairul dalam menanam ubi madu, dan sudah memiliki lahan seluas dua hektare.
Para petani ini tertarik menanam ubi dan bermitra dengan dirinya karena potensinya sangat menjanjikan. Sebab, hasil panen bisa diekspor ke berbagai negara. Mereka juga dapat melakukan pekerjaan lain dan tinggal menerima beres, karena untuk lahannya Khairul yang mengerjakan.
Khairul mengaku, ubi yang ditanamnya ini termasuk organik karena tidak menggunakan pupuk kimia. Lahan sawah bekas ditanami padi itu juga dianggapnya sudah memiliki kandungan pupuk alami untuk membuat ubinya tumbuh subur.
Sementara itu, tidak membutuhkan waktu yang begitu lama, masa panen ubi madu ini hanya butuh waktu 3,5 bulan hingga siap panen. Ukuran untuk ubi madu yang diekspor itu berukuran sedang.
“Kalau buat ekspor ukurannya sedang, mereka nggak suka yang terlalu besar. Sekilo isi 3 atau 4. Kalau yang besar-besar buat di pasar lokal, biasanya dijual ke penjual gorengan,” ujar Khairul.
Khairul juga mengaku, ubi madu ini dihargai Rp 2.000 per kilogram di pasar lokal. Sementara harga untuk komoditas ekspor mencapai Rp 10.000 per kilogram. Berdasarkan hal tersebut, Khairul dapat meraup keuntungan yang lebih banyak.
Dengan bermodal awal Rp 11 juta untuk membeli bibit dan biaya perawatan sawah. Kini setelah 3,5 bulan atau saat masa panen ubi, omzet yang didapat Khairul bisa mencapai Rp 100 juta.
”Dengan modal penanaman sekitar Rp 11 juta, kita tunggu sekitar tiga bulan setengah, nanti begitu hasil dapat menghasilkan Rp 100 juta,” beber Khairul.
Meski sempat stress karena kehilangan pekerjaan, tetapi Khairul bersyukur kini menemukan jalan untuk mencari rezeki lagi. Bahkan kini hasilnya jauh lebih besar.
Kepada anak muda, Khairul berpesan untuk jangan malu menjadi petani.
“Bertani itu baik, anak muda ayo bertani. Petani itu keren, petani itu kaya,” pungkas Khairul.