URedu

Dunia Tanpa Hirarki, Menuju 'Kenormalan Baru'

Firman Kurniawan S, Rabu, 22 April 2020 20.45 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dunia Tanpa Hirarki, Menuju 'Kenormalan Baru'
Image: Ilustrasi. (Freepik)

Jakarta - Di tengah pandemi global COVID-19, ada hal baru yang menyenangkan, yang dapat dinikmati khalayak. Kesenangan itu berupa sajian pesohor dari berbagai bidang kegiatan, yang memanfaatkan aplikasi pertemuan digital: seperti zoom, meetingkita, uber conference, go to meeting, skype, IG Live.

Disajikan dalam bentuk webinar, konferensi digital, maupun pertemuan online lainnya. Para pesohor ini, berelasi dan mempertontonkan keahliannya di depan khalayak tanpa jaim, jaga image, juga tanpa jarak.

Mutlak, mereka benar-benar hanya terpisah oleh ruang digital, dan tampil seperti keseharian di rumah. Ini mungkin dijalankan sambil work from home, atau aktivitas karantina mandiri lainnya.

Sedangkan khalayak penikmat, mengakses kehadiran mereka di perangkat yang sama. Syaratnya, telah jadi follower atau punya kode akses untuk masuk ke ruang yang digunakan Sang Pesohor. Dan itu, hampir seluruhnya gratis.

Sebut saja para pesohor itu: musisi, penulis buku, novelis, sutradara maupun bintang film, standup comedian, jurnalis senior, motivator, ahli ekonomi, ahli kesehatan, marketer, politisi, pejabat pemerintah hingga duta besar. Ketersohoran mereka tak diragukan, sebut saja di antaranya dr. Tompi, Sheila Madjid, Leila ChudorI, Putu Arcana, Pandji Pragiwaksono, Sandiaga Uno, Gita Wiryawan, Frederico Gil Sander, Kim Chang Beom, Marie Pangestu, Hermawan Kartajaya, dan masih sangat banyak lainnya.

1587563375-pandji.jpeg

Salah satu model webinar dari event Online Talkshow Writers Fest 2020. (Screenshot MeetingKita)

Yang disajikan mulai dari kebolehan berkesenian, berbagi pengamalan menulis, membuat film, pandangan tentang kesehatan, ekonomi politik, yang tema sentral saat sekarang, masih seputar pandemi COVID-19. Yang jelas, yang disajikan benar-benar keahlian. 

Dalam hal keterpisahan khalayak dengan pesohor, pernah populer teori yang disebut dengan Six Degrees of Separation. Ide dari teori yang digagas oleh Frigyes Karinthy, 1929 dan dipopulerkan oleh John Guare, 1990, menyatakan: setiap orang terpisah maksimal 6 derajat, atau 6 langkah dari orang lain.

Aplikasi teori ini, kamu terpisah tak lebih dari 6 orang dengan Presiden Amerika, Donald Trump. Kamu, tentu berteman dari guru SMA-mu. Sedangkan guru SMA-mu, yang pernah kuliah di Universitas Indonesia adalah teman dari Rektor Universitas Indonesia.

Dalam kenyataannya, Rektor UI adalah teman dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Tentu saja, Pak Nadiem adalah teman Presiden RI. Dan seperti yang kita sering saksikan di media sosial, Presiden RI Joko Widodo berteman dengan Donald Trump. Total tanpa disadari, kamu hanya terpisah 5 langkah dari Presiden Amerika yang sangat tersohor itu., 

Teori pemisahan 6 langkah ini, berlaku di era belum adanya perangkat komunikasi digital. Relasi bersifat analog. Maka ketika perangkat digital marak digunakan, keterpisahan itu tak berlaku lagi. Siapapun khalayaknya, dapat berelasi langsung dengan orang lain secara real time. Betapa pun tersohornya orang itu. Asal diperantarai medium digital. Dunia yang hirarkis jadi tak relevan. Hubungan antar manusia berubah egaliter. 

Dalam skala yang lebih luas, digitalisasi teknologi mendorong lingkungan berubah cepat. Tim Kastelle, 2013 dalam tulisannya Hierarchy Is Overrated yang dimuat di Harvard Business Review menyebut, perusahaan-perusahaan yang diorkestrasi sebagai tim kecil dan otonom, jauh lebih gesit daripada yang hirarkinya berjenjang.

Ini menyebabkan perusahaan lebih mudah merespon tuntutan perubahan yang cepat. Yang harus dilakukan perusahaan adalah inovasi. Dan  perusahaan dengan struktur datar cenderung jauh lebih inovatif. Datar adalah kata kunci.

Uraian ini sesuai dengan pikiran André Spicer, 2018. Ia menguraikannya dalam No Bosses, No Managers: The Truth Behind the ‘Flat Hierarchy’ Façade. Ia menuliskan, bayangkan kamu bekerja di perusahaan tanpa bos.

Di hari pertama pekerja diberikan buku pegangan untuk pekerja baru, diikuti instruksi dari digital announcer yang mengatakan, "Kami tidak memiliki manajemen apa pun, dan tidak ada yang melapor kepada siapa pun. Kamu dapat memutuskan proyek mana yang akan kamu kerjakan. Jika kamu membenci orang sebelah kamu, cukup bergerak - ada roda di bagian bawah meja kamu untuk membantu. Perusahaan ini memiliki beberapa kebiasaan menarik seperti ruang pijat, pelatihan dari ekonom radikal, dan perjalanan, di mana semua orang di seluruh perusahaan pergi berlibur”.

Dalam kerangka perusahaan berbasis digital hanya inovasi yang dituntut, sedangkan hirarki dan kepatuhan ditukar dengan kinerja.

Lebih lanjut, Thomas Friedman, 2005 dalam bukunya The World is Flat, secara kronologis menguraikan pemanfaatan teknologi digital, pada akhirnya menyebabkan dunia jadi datar. Ini terjadi akibat tiadanya pilihan: menggunakan teknologi yang juga digunakan jejaring, atau tersingkir dari kancah bisnis.

Buminya tetap bulat, namun perbedaan zona waktu akibat bulatnya bumi, jadi tak relevan. Satu contoh dalam uraian Friedman, manakala terjadi kecelakaan di tengah malam di Amerika, para dokter tak khawatir dengan berakhirnya jam kerja dan tutupnya beberapa fasilitas layanan RS. Dokter yang hendak menolong pasien tak perlu menunggu esok hari.

Mereka terbiasa mengirimkan data secara real time ke negara lain, yang  ada di zona waktu jam operasional. Dengan menunggu tak terlalu lama, segera diperoleh hasil analisa akurat, dari dokter-dokter bereputasi, di negara lain. Hasil ini digunakan dokter, melakukan pertolongan segera. Sistem operasional yang lazim disebut 24/7/365 ini, terjadi akibat adanya kesamaan teknologi digital yang meniadakan beda ruang, terpisahnya waktu dan makin datarnya hirarki.

COVID-19, WFH, phisycal distancing adalah suatu situasi yang memaksa setiap orang menggunakan perangkat digital berjejaring. Sebuah keadaan yang diakselerasi, walaupun beberapa pihak memimpikan kembali ke kenormalan lama. Mekanisme ini digunakan untuk berelasi, memperoleh informasi, memenuhi kebutuhan pokok, melayani orang lain hingga menjalankan aneka aktivitas profesional.

Semua dilakukan dalam keadaan tanpa bos yang mengawasi, tanpa hirarki berjenjang. Kunci agar sistem bekerja, selain menggunakan perangkat yang digunakan jejaring, sisanya adalah inovasi pribadi dengan kinerja sebagai ukurannya. Ini mungkin yang dimimpikan  kaum muda, sebagai kenormalan baru, alih-alih rebahan menunggu berlalunya wabah. 

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait