URedu

Perbudakan Orang Jawa di Afsel Diangkat dalam Novel ‘Sapaan Sang Giri’

William Ciputra, Minggu, 4 Agustus 2024 19.04 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Perbudakan Orang Jawa di Afsel Diangkat dalam Novel ‘Sapaan Sang Giri’
Image: Diskusi buku Sapaan Sang Giri karya Isna Marafi. (Istimewa)

Jakarta - Kolonialisme yang terjadi di Nusantara beberapa dekade lalu menyisakan catatan kelam dalam sejarah, mulai dari perbudakan, tanam paksa, diskriminasi, dan sebagainya. 

Bahkan perbudakan tidak hanya terjadi di Nusantara saja. Banyak orang-orang Nusantara, utamanya Jawa yang menjadi korban perbudakan di tanah seberang, seperti di Suriname. 

Seperti diketahui, Suriname kini menjadi negara berdaulat di Amerika Selatan. Negara ini dikenal dengan banyaknya orang Jawa yang jumlahnya mencapai 14% dari total penduduk. 

Keberadaan orang Jawa di Suriname berawal dari para pekerja kontrak dan perbudakan yang dilakukan pemerintah kolonial. Orang Jawa banyak yang dikirim ke Suriname, dan tidak pernah pulang ke tanah kelahirannya. 

Kisah tentang orang Jawa di Suriname dikenal luas oleh masyarakat. Hal ini berbeda dengan kisah perbudakan orang Jawa di wilayah lain, seperti Afrika Selatan (Afsel). 

Padahal, Afrika Selatan menjadi salah satu negara tempat pemerintah kolonial melakukan praktik perdagangan orang Nusantara. Selain itu, Afsel juga menjadi tempat pengasingan bagi para pejuang yang mengangkat senjata melawan VOC maupun Belanda. 

Kisah perbudakan orang Jawa di Afsel yang jarang dibicarakan ini menggugah Isna Marifa untuk menulis novel berjudul ‘Sapaan Sang Giri’. Diterbitkan oleh Kabar Media Books, karya ini menyoroti babak penting dalam sejarah Indonesia.

Dalam diskusi ‘Sapaan Sang Giri’ di Dia.lo.gue, Kemang, Sabtu (3/8/2024), Isna menyebut bahwa perdagangan budak Nusantara ke Afrika Selatan terjadi pada abad ke-18 dan tidak banyak yang membicarakannya. 

“Afrika Selatan juga menjadi tempat pengasingan bagi para pejuang dan pangeran Nusantara yang melawan VOC," kata Isna Marifa, Sabtu. 

"Penggalan sejarah ini begitu menghantui, sampai saya tergugah untuk menulis buku ini,” imbuhnya. 

Isna menambahkan, mempelajari sejarah sangat penting untuk memahami masa kini dan membentuk masa depan. Sejarah memberi suatu bangsa wawasan tentang asal-usul dan perkembangan budaya, masyarakat, dan bangsa, yang membantu kita menghargai keragaman dan kompleksitas pengalaman manusia. 

Dengan mempelajari peristiwa masa lalu, bangsa akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang penyebab dan konsekuensi dari tindakan, memungkinkan belajar dari keberhasilan dan menghindari pengulangan kesalahan. 

“Sejarah juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis, karena memerlukan evaluasi sumber, interpretasi bukti, dan pemahaman perspektif yang berbeda,” imbuhnya.

Sinopsis ‘Sapaan Sang Giri’

1722772968-Sapaan-Sang-Giri-.jpegSapaan Sang Giri. (Istimewa)

‘Sapaan Sang Giri’ menceritakan dua karakter Parto dan Wulan. Keduanya diperbudak di Tanjung Harapan, Afrika Selatan karena ketidakmampuan Parto membayar utang. 

Bersama rekan-rekan buruh perkebunan, mereka berupaya mempertahankan budaya dan cara hidup Jawa di lingkungan asing tersebut. 

Melalui penceritaan yang rumit dan pengembangan karakter yang bernuansa, ‘Sapaan Sang Giri’ tidak hanya menggali kerinduan para karakter terhadap tanah airnya tetapi juga memberikan gambaran sekilas tentang sejarah Jawa dan Cape Colony.

Pembaca diperkenalkan pada pengaruh abadi ajaran spiritual Jawa, yang membimbing para protagonis melalui perjuangan mereka. 

Selain itu, novel ini menggambarkan tahap awal berkembangnya masyarakat multikultural di Afrika Selatan, yang dikenal sebagai komunitas Cape Malay. Setiap halaman Sapaan Sang Giri menjadi sebuah pengingat yang menyentuh akan ketangguhan umat manusia dan pencarian identitas yang terus berlanjut di tengah arus sejarah yang bergejolak.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait