URguide

Eksperimen Khaneman dan Komunikasi Publik COVID-19 di Indonesia

Wildanshah, Minggu, 5 April 2020 15.42 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Eksperimen Khaneman dan Komunikasi Publik COVID-19 di Indonesia
Image: Pixabay

Jakarta - Di tengah wabah corona seperti ini, tiba-tiba saya teringat eksperimen yang dilakukan oleh Daniel Khaneman, psikolog peraih nobel di bidang ekonomi. Pada tahun 1980-an, Khaneman menemukan perilaku manusia yang menarik. Ia melihat manusia dapat bereaksi berbeda terhadap situasi atau kondisi yang benar-benar sama. Perbedaan reaksi ini sangat tergantung bagaimana seseorang menerima atau menyampaikan pesannya.

Rolf Dobelli, novelis asal Swiss juga mempertegas pendapat Khaneman. Menurutnya, suatu pesan, jika dikomunikasikan dengan cara yang berbeda, akan diterima dengan cara yang berbeda pula. Jadi kita perlu memahami bahwa kita bersikap  bukan pada apa yang  seseorang katakan, tapi bagaimana cara orang tersebut mengatakannya. Kembali pada Khaneman, pada waktu itu, ia melakukan eksperimen dengan memberikan opsi kepada para peserta untuk memilih strategi pengelolaan penyakit menular.

Di awal sesi eksperimen, Khaneman, mengatakan kepada peserta bahwa ada enam ratus nyawa terancam penyakit menular. Selanjutnya ia memberikan pilihan kepada para peserta. 

“Pilihan A menyelamatkan dua ratus jiwa. Pilihan B menawarkan 33 persen kemungkinan bahwa keenam ratus orang akan selamat, dan 66 persennya tidak akan ada yang selamat," ujarnya.

Inti dari kedua pilihan Khaneman adalah apapun pilihannya peserta nanti, hasilnya pasti sama saja. Walaupun dibandingkan sekalipun, mereka hanya akan menyelamatkan dua ratus orang. Pada uji coba ini, sebagian peserta memilih opsi A. Khaneman memulai tahap kedua, dengan melakukan pembingkaian ulang kedua opsi sebelumnya dengan cara penyampaian yang berbeda.  

“Pilihan A membunuh empat ratus orang. Pilihan B menawarkan 33 persen kemungkinan bahwa tidak akan ada yang meninggal, dan 66 persen kemungkinan enam ratus orang akan meninggal,” ujarnya kembali.  

Pada uji coba kedua, peserta lebih banyak  memilih opsi B. Ini menunjukan hampir mayoritas peserta mengganti pilihannya, dari pilihan A menjadi pilihan B. Padahal perlu diingat bahwa uji coba pertama dan kedua, dengan opsi apapun hasilnya sama saja, berusaha menyelamatkan dua ratus orang dari penyakit menular.  Dari eksperimen ini, Khaneman melihat bahwa seseorang dapat membuat keputusan yang benar-benar berbeda tergantung pemilihan katanya: selamat atau meninggal.  

Fenomena ini dapat dikatakan sebagai “penghalusan istilah”, seperti misalnya dalam organisasi-organisasi kepemudaan suka membingkai ulang kata “tantangan” menjadi kata “kesempatan”. Karena kata tantangan memberikan muatan negatif, sedangkan kesempatan lebih bermuatan positif untuk memotivasi atau menggerakkan anggota.

Bagaimana Indonesia Membingkai Wabah Corona?

Saya ajak Anda mengamati kasus corona meminjam hipotesis Khaneman. Saat ini Indonesia disebut sebagai negara dengan persentase kematian karena wabah corona tertinggi yaitu mencapai 8,37 persen, melebihi Italia yang 8,34 persen. Pemerintah dan media di Indonesia, bahkan dunia menggunakan pembingkai wabah corona dengan kata kematian. 

Misalnya di Indonesia, wabah diinformasikan dengan pernyataan “potensi kematian karena wabah corona di Indonesia mencapai  8,34 persen”. Apakah Anda pernah iseng-iseng berfikir, bagaimana jadinya jika pernyataan ini dibingkai ulang menjadi “potensi selamat dari wabah corona di Indonesia mencapai  91,66 persen”.

Pada kata “potensi kematian”, kita diarahkan untuk tetap waspada, walaupun potensi hidupnya sebenarnya lebih tinggi. Kita menjadi fokus untuk menghindari corona, mempelajari dampak buruknya, dan orang-orang yang sembuh dari corona pasti akan menjadi berita besar karena dianggap lolos dari kematian bagaikan pejuang. 

Coba bayangkan jika yang digunakan “Potensi selamat”, mungkin kita akan biasa-biasa aja, walaupun potensi kematian karena corona tetap ada. Kita mungkin tidak akan peduli dengan anjuran apapun untuk mencegah corona, berita soal corona tidak akan berada di topik utama media online, dan orang-orang yang meninggal karena corona akan dianggap biasa saja sebagaimana orang yang tewas karena penyakit akibat rokok, gula dan makanan instan.

Padahal “potensi kematian dan “potensi selamat” secara bobot risiko terpapar corona sebenarnya sama. Intinya yang ingin saya sampaikan, pembingkaian atas sebuah realitas, akan membuat kita mengabaikan realitas yang lainnya. Sebagaimana kata Rolf Dobelli, kita sangat sulit untuk mempertimbangkan semua pro dan kontra yang mungkin ada. Ini cara kerja informasi dan cara kita berfikir dalam menjalani hari-hari.  

Saya percaya, pengabaian merupakan hal yang sangat wajar dan manusiawi, bahkan di tengah wabah seperti ini, dengan berbagai perdebatan yang bersorak-sorai di linimasa, kita hanya mengikuti “pernyataan” mana yang paling sering kita dengar, dan paling dramatis untuk diperbincangkan kembali, itulah yang akan membentuk sikap kita terhadap corona sekarang. 

Kalau saya ditanya cara terbaik bagaimana membingkai wabah corona di Indonesia. Menurut saya sebaiknya pemerintah mulai mengumpulkan pakar-pakar psikologi linguistik dan sosiologi untuk bergabung memperkuat tim penanganan COVID-19.(*)  


**) Penulis merupakan Komisaris perkumpulan Warga Muda (wargamuda.com) dan Chief Destruction Officer Mindstream!. Saat ini ia tergabung ke dalam Indonesia Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait