URguide

Cerita Pembaca: Bercerai karena Mertua Banyak Utang

Nindya Sari, Rabu, 10 Juli 2024 12.44 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Cerita Pembaca: Bercerai karena Mertua Banyak Utang
Image: Ilustrasi Pexels

Jakarta - Panggil saja gue Rudi. Gue seorang karyawan swasta di Jakarta berumur kepala tiga alias 30 tahun. Gue pernah menikah dengan seorang perempuan yang sangat gue cintai sekitar tiga tahun lalu bernama Nila.

Sebelum menikah, gue dan Nila telah berpacaran kurang lebih tiga tahun. Selama masa pacaran, kami tak menemukan kendala yang berarti, semua berjalan mulus-mulus saja.

Gue dan Nila jarang bertengkar hebat. Komunikasi kami terbilang cukup baik sehingga hampir tak pernah ada masalah yang membuat hubungan kami terkendala.

Kami terbuka satu sama lain, namun untuk urusan keuangan, gue dan Nila memang hampir tak pernah membicarakan secara khusus. Gue merasa, bicara soal keuangan dengan pasangan yang belum menikah kurang pas.

Mungkin Nila juga merasa begitu. Karena itu, dia pun tidak pernah membuka topik soal keuangan. Nila tidak tahu persis berapa gaji gue dan gue pakai buat apa saja, begitu juga dengan gue, tak tahu pendapatan Nila.

Namun selama berpacaran, semua tampak baik-baik saja. Nila tak pernah mengeluh sedikitpun soal keuangan meski untuk biaya pacaran, kami suka bergantian.

Kadang gue yang traktir, kadang Nila yang bayar. Dan semua itu terlihat tidak ada masalah sedikitpun. Hingga akhirnya kami menikah, dan semua terbuka dengan jelas.

Setelah menikah, gue baru tahu bahwa 70 persen gaji Nila selalu diberikan kepada orang tuanya. Uang tersebut sebagian besar dipakai untuk cicilan utang orang tuanya yang mencapai Rp 200 juta.

Sisanya untuk biaya hidup sehari-hari. Seluruh pengeluaran di rumah Nila saat itu ditanggung oleh Nila seorang diri. Orang tuanya tidak lagi punya penghasilan dan kakaknya tidak memiliki penghasilan yang mencukupi. Dan Nila tak punya tabungan.

Sebenarnya gue sangat kaget, tapi gue berusaha membicarakan hal ini dengan baik. Gue dan Nila akhirnya sepakat untuk terus membayar utang orang tuanya.

Saat itu gue berpikir bahwa Nila adalah tanggung jawab gue. Artinya seluruh kebutuhan Nila wajib gue penuhi. Dan gue bisa memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan masih bisa menabung.

Setelah kurang lebih satu tahun, utang orang tua Nila akhirnya lunas. gue pun inisiatif bertanya kepada Nila. Gue bermaksud mengajak dia membeli rumah bersama karena Nila sudah tidak punya kewajiban membayar utang orang tuanya.

Nila saat itu setuju dengan usul gue. Namun dia meminta izin untuk tetap membiayai kehidupan orang tuanya seperti makan, listrik air, telepon, dan kebutuhan rumah lainnya.

Gue pun setuju karena dibanding membayar cicilan, membiayai kebutuhan pokok orang tua Nila pasti lebih terjangkau. Dengan penghasilannya, Nila bisa membantu gue untuk sama-sama membeli rumah.

Akhirnya rencana tersebut berjalan mulus. Kami membeli rumah secara KPR di daerah BSD. Hampir bersamaan dengan itu, Nila ternyata hamil anak pertama kami.

Bahagia? Tentu saja. Namun ternyata kehamilan Nila bermasalah dan harus istirahat total. Kantor Nila pun akhirnya memberi Nila fasilitas cuti di luar tanggungan selama satu tahun.

Artinya, Nila tetap berstatus sebagai karyawan namun tidak mendapat gaji selama satu tahun. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya biaya hidup orang tua Nila menjadi tanggung jawab gue.

Gue nggak masalah karena dengan ditambah pengeluaran itu, gaji gue masih aman. Namun ternyata hal itu tidak berjalan mulus. Beberapa bulan setelahnya, gue menemukan bahwa orang tua Nila ternyata berutang lagi.

Nila meminta bantuan gue untuk membayar utang orang tuanya karena saat itu dia tidak punya penghasilan apapun. Nila tampak stress dan gue takut hal itu akan berdampak buruk pada kehamilannya.

Gue tidak punya pilihan. Mau tidak mau, gue harus membayar utang orang tua Nila meski gue terpaksa membongkar tabungan yang rencananya sebagai dana darurat keluarga.

Setelah utang orang tuanya lunas, Nila tampak lebih baik. Dia tak lagi cemas. Gue pun merasa lega meski sebagian dana darurat gue terkuras. Saat itu gue cuma berpikir bagaimana caranya agar tabungan gue kembali.

Akhirnya beberapa bulan berlalu. Nila melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat. Gue sungguh bahagia dengan kelahiran anak pertama yang gue beri sama Kesha itu.

Hari-hari kami berjalan cukup lancar. Dana darurat yang sempat terpakai untuk membayar utang orang tua Nila juga perlahan kembali, meski belum utuh 100%.

Namun mendadak masalah kembali datang. Orang tua Nila lagi-lagi terlilit utang dengan nominal yang lebih besar dari sebelumnya. Gue sampai tidak bisa berkata-kata lagi.

Gue mencoba mengajak Nila bicara. Tapi Nila nyaris tak punya solusi. Dia hanya menangis dan menangis saja. Terus terang gue sudah capek kalau harus membayar utang orang tua Nila lagi.

Masalahnya, utang yang dibuat oleh orang tua Nila adalah utang yang sebenarnya tidak perlu. Secara kebutuhan pokok, orang tua Nila sudah kami tanggung mulai dari makan, air, listrik dan kebutuhan pulsa.

Setiap beberapa bulan, orang tua Nila juga kami ajak untuk liburan, makan di luar, berbelanja pakaian dan sebagainya. Mereka juga tidak pernah membicarakan kebutuhan lain yang membutuhkan dana besar.

Lalu buat apa orang tua Nila mengambil utang yang besar? Gue meminta Nila untuk bertanya kepada orang tuanya. Awalnya Nila menolak karena takut orang tuanya akan sakit hati.

Namun kalau tidak ditanya, kami tidak akan tahu untuk apa utang sebanyak itu? Gue lihat, mereka juga tidak memiliki aset baru entah itu motor, mobil, atau barang berharga lainnya.

Akhirnya Nila pun memberanikan diri untuk bertanya. Dan betapa kagetnya gue ternyata utang besar yang diambil orang tua Nila dipakai untuk membiayai hidup kakaknya.

Setelah itu, dengan tegas gue sampaikan bahwa gue tidak bisa membayar utang orang tua Nila kali ini. Melihat keputusan gue ini, orang tua Nila marah besar. Mereka menyebut gue tidak bertanggung jawab.

Gue membela diri bahwa utang orang tua Nila apalagi digunakan untuk biaya hidup kakak Nila, bukan tanggung jawab gue. Namun orang tua Nila mengatakan bahwa sebagai keluarga, gue harusnya membantu.

Kami ribut besar. Orang tua Nila bahkan meminta gue untuk menceraikan Nila karena menurut mereka, gue tidak bisa bertanggung jawab. Melihat itu Nila hanya bisa menangis.

Tentu saja gue menolak menceraikan Nila. Menurut gue, tidak ada masalah antara gue dan Nila. Masalah justru datang dari pihak ketiga yaitu orang tua dan ipar.

Tapi orang tua Nila ngotot bahwa gue harus membantu membayar utang-utang mereka. Jika tidak, gue diminta menceraikan Nila karena dianggap tidak mau bertanggung jawab.

Gue menegaskan tidak akan menceraikan Nila. Namun ternyata Nila berpikiran lain. Dia ternyata juga berpikir jika gue benar-benar mencintainya, maka gue harus mau membayar utang-utang orang tuanya.

Gue benar-benar speechless dengan pola pikir Nila. Namun gue tetap tidak mau membayar utang-utang tersebut, karena jika gue membayarnya saat ini, ke depan pasti akan ada utang baru lagi. Orang tua Nila tak akan belajar.

Gue mencoba memberi pengertian kepada Nila. Namun hasilnya tetap sama, gue harus membayar utang orang tuanya atau menceraikannya. Demi Tuhan, itu adalah pilihan yang sulit.

Karena gue tak segera mengambil keputusan, akhirnya Nila memutuskan semuanya sendiri. Nila mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama dengan alasan sudah tidak ada kecocokan di antara kami.

Singkat cerita kami pun bercerai dengan hak asuh anak ada di tangan Nila karena masih di bawah umur. Gue diminta memberikan nafkah per bulan sebesar Rp 5 juta.

Gue sedih. Bukan persoalan uang nafkah tapi kenapa gue harus kehilangan keluarga gue gara-gara utang mertua. Apakah seharusnya gue memang membayar utang-utang orang tua Nila?

* Cerita ini berdasarkan kisah nyata namun demi menjaga privasi, nama-nama tokoh dalam cerita ini kami samarkan

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait