URguide

Kisah Pria Tunanetra Berjuang Jadi Guru ASN: Kerja Keras dengan Keterbatasan

Shelly Lisdya, Rabu, 13 April 2022 16.59 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kisah Pria Tunanetra Berjuang Jadi Guru ASN: Kerja Keras dengan Keterbatasan
Image: Guru penyandang disabilitas netra, Ginanjar Rohmat. (Dok. Humas Kab Temanggung)

Jakarta - Penyandang disabilitas netra bukan berarti tidak bisa sukses. Mereka hanya harus bekerja lebih keras, karena memiliki banyak keterbatasan.

Nilai-nilai tersebut yang selalu disampaikan Ginanjar Rohmat, salah seorang disabilitas netra atau tunanetra tiap kali mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Temanggung, Jawa Tengah.

"Karena serba terbatas, maka kita harus bekerja lebih keras, dan harus diakui bahwa lingkungan dan kesempatan tidak begitu luas untuk disabilitas. Tapi asalkan mau berusaha, pasti ada jalannya. Kadang kita hanya belum tahu jalan itu," ujar Ginanjar, dikutip Urbanasia, Rabu (13/4/2022).

Lelaki yang akrab disapa Pak Gin ini bekerja sebagai guru kelas 6 jenjang SD dan kelas 8 atau setara kelas 2 SMP di SLB Temanggung. Ia merupakan salah satu penyandang disabilitas yang berhasil lolos seleksi CPNS kuota disabilitas angkatan pertama dari Kementerian Pendidikan Tahun 2019 untuk penempatan di SLB Temanggung.

Awal Mengalami Kebutaan

Pak Gin mengalami kebutaan sejak tahun 2006 saat masih pelajar kelas 1 SMA Wonosari, Gunung Kidul. Usianya baru 16 tahun sewaktu ia bermain sepakbola dengan beberapa teman. Tanpa sengaja pelipis kanannya terkena hantaman bola. Ketika itu kepalanya hanya sedikit mengalami pusing. Namun ia masih bisa melanjutkan permainan bola hingga usai.

Lima bulan setelah kejadian itu, penglihatan Ginanjar mulai nanar, meski bagian matanya tidak terasa sakit. Orang tua membawanya berobat ke Puskesmas terdekat di daerah Paliyan. Sebab tidak bisa ditangani, Puskesmas merujuknya ke RSUD Wonosari. Pihak RSUD merujuknya ke RS dr Sarjito. Di sana, ia didiagnosis retina sebelah kanan terlepas dari dinding bola mata atau disebut ablasio retina.

"Menurut dokter hal itu terjadi akibat benturan atau jatuh. Benturan yang saya alami hanya terkena bola di bagian pelipis. Tapi mata kiri masih bisa melihat," tutur Pak Gin.

Makin lama penglihatannya terus menurun. Jika bola mata kiri ditutup, maka ia sudah tidak bisa melihat. Pilihan pengobatan hanya operasi mata. Namun waktu itu RS Dr Sardjito belum memiliki peralatan lengkap, sehingga ia menjalani operasi mata kanan di RS Dr YAP. Sedang mata kirinya diterapi laser, karena juga sudah mulai rusak meski tidak terlalu parah. 

"Setelah operasi sempat ada peningkatan, tapi masih berobat jalan. Beberapa waktu kemudian diperiksa lagi ternyata telah tumbuh jaringan baru, sehingga hasil operasi lepas," ujarnya. 

Ia dianjurkan untuk operasi lagi agar sembuh total. Namun karena persentase kesembuhannya relatif kecil dan keluarganya tidak memiliki dana untuk keperluan operasi dan perawatan pasca operasi, maka diputuskan mata Ginanjar tidak dioperasi lagi. Lagi pula waktu itu mata kirinya masih berfungsi dengan baik. Namun sekitar bulan Juni 2007, Pak Gin malah kehilangan penglihatan total.

"Saya sempat down, bingung mau apa, mau jalan saja susah. Padahal tinggal setahun lagi lulus sekolah. Saya jadi lebih banyak berdiam di rumah, murung, kesehariannya hanya mendengarkan radio di kamar. Keluar rumah hanya diajak Ayah untuk Sholat Jumat," kenang Gin.

Dijauhi Teman hingga Ingin Bunuh Diri

Kesedihan Gin bertambah manakala ia mulai ditinggalkan teman-temannya. Mereka yang biasa bertandang ke rumah dan pergi bermain bersama, semakin lama makin menjauh. Pak Gin merasa sendirian dan ditinggalkan.

Pihak keluarga, saudara dan tetangga juga tidak memiliki pengetahuan mengenai apa yang bisa dilakukan disabilitas agar bisa bertahan menjalani kehidupan tanpa bergantung pada orang lain dan bisa sukses.

"Tiba-tiba masa depan saya menjadi suram. Padahal semula saya bercita-cita ingin bersekolah di STAN, tapi malah hilang penglihatan. Impian saya buyar. Saya masih berharap akan sembuh jadi hanya mengajukan cuti sekolah, tapi ternyata tidak bisa, karena harus tetap ikut ujian dan menjalani proses lainnya. Jadi saya berhenti sekolah," tutur Gin.

Gin menceritakan, yang bisa dilakukan pihak keluarga hanya mencari pengobatan alternatif ke 'orang pintar'. Ia pernah berobat ke Yogyakarta dengan sistem pengobatan mentransfer kebutaannya pada kelinci sembari didoakan. Kemudian kelincinya disembelih, bagian hatinya dilarung ke sungai atau laut. Pengobatan dengan cara ini ia jalani hingga lima kali, namun tidak membuahkan hasil.

Pengobatan alternatif lainnya ia jalani di daerah Bekasi dan Tangerang, masing-masing sebanyak dua kali. Di dua tempat itu sistem pengobatannya nyaris sama, yakni kesembuhan mata Ginanjar didoakan, kemudian diminta meminum segelas air putih yang telah dimasuki doa. Pengobatan ini juga tidak berpengaruh apa pun pada kesembuhannya.

"Saya merasa makin sedih, malu dan minder. Saya sempat marah pada Tuhan, karena selama ini saya telah menjadi anak yang baik, tapi malah menjadi buta. Sedangkan anak lain yang nakal baik-baik saja. Saya sempat depresi dan terbersit keinginan untuk bunuh diri. Untungnya hal itu tidak saya lakukan," ujarnya.

Kesedihannya makin menggunung tiap kali ada tetangga yang lewat kemudian memeluk ibunya untuk memberi dukungan dengan berkata 'Yang sabar ya'. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait