URstyle

Happy Hypoxia, Gejala COVID-19 yang Bisa Bikin Pasien Meninggal

Griska Laras, Jumat, 4 September 2020 13.54 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Happy Hypoxia, Gejala COVID-19 yang Bisa Bikin Pasien Meninggal
Image: Pixabay

Jakarta - Sesak napas menjadi salah satu gejala umum yang dialami pasien positif COVID-19. Namun belakangan, banyak ditemukan pasien yang mengalami gejala baru yang disebut dengan happy hypoxia syndrome.

Happy hypoxia atau silent hypoxia syndrome merupakan gejala baru dalam dunia medis. Syndrome ini terjadi saat seseorang tidak mengalami sesak napas meski kadar oksigen dalam tubuh rendah.

Tingkat saturasi oksigen dalam darah yang normal berkisar antara 95-100 persen. Jika lebih rendah dari itu, seseorang akan mengalami kesulitan bernapas (dyspnea) sebagai tanda bahwa tubuh kekurangan oksigen.

Tapi pada happy hypoxia syndrome, pasien tidak mengalami gejala sesak napas meski kadar oksigen dalam tubuh rendah. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya karena bisa merusak paru-paru dan menyebabkan kematian mendadak.

Professor Loyola University Chicago Stricth School of Medicine, Martin J Tobin, menyebut, happy hypoxia syndrome membingungkan dokter karena bertentangan dengan prinsip biologi dasar. Pernyataan itu dia tulis dalam riset berjudul 'Why COVID-19 Silent Hypoxemia is Baffling to Physicians' yang dipublikasikan di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.

"Tingkat oksigen pada pasien COVID-19 akan terus menurun sampai perlu mendapat penanganan medis. Seiring menurunnya tingkat oksigen dalam darah, kemampuan otak untuk merespon benar-benar rendah. Pada kondisi normal biasanya pasien akan mengalami sesak napas," kata Dr Tobin.

Penelitian ini melibatkan 16 pasien COVID-19 dengan tingkat oksigen yang sangat rendah (50%) dan tanpa gejala sesak napas (dispnea). Mereka memaparkan beberapa hipotesis terkait fenomena tersebut.

Riset menyebut bahwa 'mekanisme patofisiologis' bertanggung jawab atas sebagian besar kasus, "Mungkin virus corona melakukan mekanisme aneh terkait bagaimana tubuh merasakan kadar oksigen dalam tubuh yang rendah"
 
“Faktor lainnya adalah bagaimana otak merespons tingkat oksigen yang rendah. Ketika kadar oksigen pada pasien dengan COVID-19 turun, otak tidak merespons sampai oksigen merosot hingga ke yang paling rendah - dan disaat itu pasien biasanya menjadi sesak napas, " kata Tobin seperti dikutip Science Daily.

Selain itu para peneliti juga menemukan lebih dari setengah pasien memiliki kadar karbon dioksida yang rendah dalam tubuh mereka. Pada kasus hypoxia biasa, turunnya kadar oksigen tidak diikuti dengan penurunan karbon dioksida sehingga tubuh bisa cepat menangkap sinyal bahwa tubuh kekurangan oksigen.

Sementara pada kasus happy hypoxia, berkurangnya kadar oksigen dalam tubuh juga disertai penurunan kadar karbon dioksida. Hal ini membuat tubuh merasa  kondisi oksigen di dalam masih seimbang.

Meski demikian, Tobin mengakui penelitian lebih lanjut soal happy hypoxia pada pasien COVID-19 masih diperlukan.

"Informasi baru ini dapat membantu menghindari intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis yang berisiko dan tidak perlu ketika gelombang kedua COVID-19 muncul," papar Tobin.

Di Indonesia sendiri gejala 'happy hypoxia' pada orang terjangkit COVID-19 sudah banyak ditemukan di sejumlah daerah. Fenomena happy hypoxia syndrome mulai mencuat setelah dialami pasien COVID-19 di Banyumas yang meninggal dunia. Fenomena ini juga ditemukan di Semarang, Solo dan beberapa wilayah di Jawa Timur. 


 
 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait