URnews

Kemendikbudristek Buka Suara soal Kabar 2,8 Persen Sekolah Jadi Klaster COVID-19

Shelly Lisdya, Minggu, 26 September 2021 12.04 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kemendikbudristek Buka Suara soal Kabar 2,8 Persen Sekolah Jadi Klaster COVID-19
Image: Ilustrasi - Sekolah tatap muka di Surabaya. (Dok. Dispendik Kota Surabaya)

Jakarta - Beberapa waktu lalu, banyak pemberitaan menyebut bahwa 2,8 persen sekolah menjadi klaster COVID-19 selama Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas. Berita itu tentu saja bikin heboh. Benarkah begitu?

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya memberikan penjelasan terkait berita tersebut.  Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Jumeri menyebut hal itu adalah miskonsepsi alias salah pengertian.

"Miskonsepsi pertama adalah mengenai terjadinya klaster akibat PTM terbatas. Angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster COVID-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular COVID-19. Sehingga, lebih dari 97 persen satuan pendidikan tidak memiliki warga sekolah yang pernah tertular COVID-19," ujar Jumeri dikutip Urbanasia, Minggu (26/9/2021).

"Jadi, belum tentu klaster," imbuh Jumeri.

Jumeri mengatakan, data tersebut merupakan data hasil survei Kemendikbudristek hingga 20 September 2021. Data tersebut mencatat ada 2,8 persen atau 1.296 dari 46.580 responden sekolah menjadi klaster COVID-19. Data yang sama juga menyebut 7.307 tenaga pendidik dan 15.429 siswa positif virus corona.

"Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM terbatas dan ada juga yang belum," kata Jumeri.

Kemudian terkait isu 15 ribu siswa dan tujuh ribu guru positif COVID-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi, sehingga masih ditemukan kesalahan. 

"Misalnya, kesalahan input data yang dilakukan satuan pendidikan seperti laporan jumlah guru dan siswa positif COVID-19 lebih besar daripada jumlah total guru dan siswa pada satuan pendidikan tersebut," jelasnya.

Sebagai solusi ke depan, Kemendikbudristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data. 

"Dikarenakan keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan, saat ini Kemendikbudristek dan Kemenkes sedang melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan aplikasi PeduliLindungi,” tambah Jumeri.

Kemendikbudristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM terbatas.

Peserta didik juga bisa tetap belajar dari rumah jika orangtua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM terbatas, serta tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi pelajar yang belajar dari rumah.

“Kolaborasi yang efektif antara guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan pengawas sekolah, serta orangtua sangat diharapkan untuk menyukseskan penerapan PTM terbatas,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait