URguide

Konten Media Sosial, Berbagi atau Egosentrisme?

Firman Kurniawan S, Senin, 10 Oktober 2022 15.34 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Konten Media Sosial, Berbagi atau Egosentrisme?
Image: Ilustrasi konten kreator. (Pixabay/StockSnap)

PEREMBESAN perilaku di media sosial pada kehidupan di dunia nyata, telah lama jadi perhatian para ahli perilaku maupun ilmuwan sosial lainnya. Ini beranjak dari 2 karakter utama konten media sosial: sebagai medium narsistik dan egosentrisme.

Keduanya merupakan bentuk obsesi pada diri sendiri yang terus meningkat, sebagai kecenderungan utama para penggunanya. Sehingga jika perembesan dari dunia media sosial ke dunia nyata benar adanya, masyarakat hari ini hidup dalam peradaban yang diwarnai perilaku narsistik maupun sikap egosentris itu.    

Pandangan yang mengemukakan munculnya obsesi pada diri sendiri dari para pengguna media sosial, diulas pada artikel ‘Self Obsession Can Increase Due to Social Media’. Ini dimuat di New Indian Express, November 2018.

Disebutkan pada artikel itu, berdasar kajian yang dilakukan para peneliti dari Swansea University dan Milan University, terindikasi terjadinya perubahan kepribadian pada 74 individu yang dijadikan informan penelitian. Para informan ini berusia 18 hingga 34 tahun dan diamati selama 4 bulan, periode penelitian. Mereka merupakan pengguna aktif Twitter, Facebook, Instagram dan Snapchat, yang dalam masa pengamatan nyata memperlihatkan gejala obsesi diri.

Temuan ini kemudian dihubungkan dengan tingginya alokasi waktu penggunaan berbagai platform media sosial itu, yang diikuti kerapnya unggahan gambar seputar diri maupun selfie. Ini jadi petunjuk munculnya narsisme.

Temuan penting berikutnya, sifat narsis pada informan ini, terus mengalami peningkatan hingga 25% selama penelitian berlangsung. Peningkatan sebesar itu, telah melampaui tingkat narsistik rata-rata orang dengan sifat narsis yang memang lazim dimiliki. Sehingga ini merupakan petunjuk adanya gangguan kepribadian.

Nampaknya ini bisa jadi jawaban terhadap bertebarannya konten narsistik media sosial, yang kerap dikonsumsi masyarakat dalam hidupnya sehari-hari. Sifat narsistik yang menjangkiti tokoh-tokoh publik, saat memanfaatkan peristiwa yang sedang jadi pusat perhatian.

Di tengah bencana alam, diraihnya prestasi olahraga yang membanggakan, peringatan peristiwa nasional yang rutin, bahkan pada tragedi kemanusiaan yang mengaduk-aduk perasaan, terjadi tampilan obsesi diri. Memang dalam pengemasannya berupa ungkapan yang berspektrum mulai ucapan duka cita hingga turut bergembira, sesuai konteksnya, namun yang tak pernah lupa adalah foto diri.

Baca Juga: Pengalihan Isu

Ini bahkan ditampilkan lebih menonjol dari kepedulian itu sendiri. Sehingga demikian menonjolnya, pesan tak jelas lagi: hendak berbagi kepedulian atau ingin memajang diri agar dilihat masyarakat. Dilema nurani, yang sesungguhnya sudah jelas posisinya.        

Sedangkan sifat obsesif lain, berupa munculnya sifat egosistik para pengguna media sosial, diulas oleh Michael Laitman, 2019 dalam artikelnya yang berjudul ‘Media Thriving on Increasingly Egosistic Society’.

Laitman menuliskan, “Saat ini media, khususnya media sosial menikmati pengaruh dan kekuatan yang luas. Tak jarang opini publik dapat dibelokkan, bahkan dikuasai, dengan satu dan lain cara. Demikian juga dengan kehadiran sekantong uang, dapat digunakan untuk membeli ruang iklan, mengunggah sponsor, atau menyerang apa dan siapapunpun yang diinginkan. Tak penting apa akibatnya bagi masyarakat. Kepedulian terhadap orang lain berkurang, kebencian kepada orang lain menjadi lebih besar”.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait