URnews

Matinya Demokrasi di ‘Tangan’ Media Sosial

Firman Kurniawan S, Senin, 19 September 2022 20.32 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Matinya Demokrasi di ‘Tangan’ Media Sosial
Image: Ilustrasi/Pixabay

DEMOKRASI pernah punya harapan pada media sosial. Di awal kemunculannya, berbagai fitur yang melekat pada media sosial memberi harapan hadirnya demokrasi dengan sifat yang langsung dan merata. Ini harapan bagi berlangsungnya demokrasi murni. 

Utopia itu hadir, lantaran peluang yang diberikan media sosial: akun dapat dimiliki siapapun bebas ruang dan waktu, tanpa biaya, tanpa syarat punya kemampuan teknis tertentu, dan yang terpenting produksi-distribusi konten media sosial berlangsung tanpa moderasi pengembang platform. 

Semua orang dengan keragaman motifnya, selama punya akses pada jaringan internet, dapat memanggungkan gagasan, ide, maupun pikirannya. Tercatat, awal tahun 2000an jadi masa euphoria produksi, distribusi dan konsumsi konten-konten media sosial.

Sambutan antusias pada media baru ini, jadi pusaran gelombang yang menghantam dunia. Sebuah pusaran yang menyerap perhatian dan melahirkan jaringan pengaruh. Ini kemudian memaksa hadirnya perubahan: praktik ekonomi, praktik politik, praktik sosial dan akhirnya perubahan budaya manusia secara makro. 

Perubahan yang terjadi, sebagai manifestasi kehendak pihak-pihak yang menginginkan perubahan, dapat dilacak dari gagasan tentang public sphere. Ruang publik. Ruang publik yang ide awalnya telah bergaung di Era Reinaisans, dikemukakan kembali secara argumentatif dan kontekstual, oleh Jurgen Habermas. 

Filsuf ini merupakan penerus terakhir tercapainya cita-cita era modernisme, yang hingga hari ini masih jernih menyampaikan gagasan-gagasannya. Public Sphere kembali mendapat pembahasan yang layak di tengah masyarakat, seiring diterbitkannya buku, The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, di tahun 1962 

Lewat uraian-uraian pada bukunya, Habermas mengemukakan tentang kemungkinan hadirnya produk hukum yang terlegitimasi. Diterima seluruh masyarakat. Mungkinkah pada masyarakat dengan segala atribut keanekaragamannya, dihasilkan produk hukum yang terlegitimasi? Demikian Habermas mengawali uraiannya. 

Secara utopis, kemungkinan itu dapat terjadi. Ini ketika dihadirkan sebuah proses dialog, yang mengetengahkan paradigma komunikatif. Lewat paradigma ini, demikian Habermas, terjamin adanya kesetaraan bahasa, dan dalam proses mencapai legitimasi para pihak bersedia menunda kepentingannya, serta tak ada intimidasi maupun favoritisme dalam interaksi gagasan. Situasi ini hanya hadir di ruang publik. Ruang yang menjamin berlangsungnya proses yang deliberatif. Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi deliberatif. 

Saat Habermas kembali menghadirkan gagasan ruang publik, situasi yang dibayangkan dapat terjadi di kafe-kafe, salon, atau fasilitas publik lain. Pada ruang macam ini, kesetaraan menghasilkan kesepahaman. 

Hari ini, di masa berkembangnya teknologi informasi, ruang publik diharapkan terjadi di media sosial. Kepemilikannya yang tak membatasi ragam personalnya, tiadanya syarat kemampuan teknis, memberi peluang para pengguna hadir dalam bahasa sehari-harinya. Proses interaksi gagasannya berlangsung tanpa moderasi. Ini memungkinkan proses-proses yang terjadi di dalamnya berlangsung tanpa intimidasi maupun favoritisme.

Lalu dengan demikian, apakah demokrasi hari ini, yang di antara proses-prosesnya terjadi di ruang-ruang media sosial, terjamin dalam keadaan baik-baik saja? Ronald J. Diebert, Direktur Citizen Lab dan Guru Besar Ilmu Politik di Munk School of Global Affair and Public Policy, Universitas Toronto, lewat tulisannya The Road to Digital Unfreedom: Three Painful Truth About Social Media, tahun 2019, menepis kemungkinan itu. 

Alih-alih media sosial memfasilitasi pemurnian demokrasi, lewat platform ini justru demokrasi menapaki hari-hari kematiannya.         

Kematian demokrasi di tangan media sosial, diuraikan sebagai bahasan, 3 kebenaran yang menyakitkan dari media sosial. Pertama, Diebert menyebutkan, media sosial tak lain adalah bisnis pengawasan. Tentu saja pengawasan bagi para penggunanya. Pengawasan dilakukan melalui interaksi data pengguna yang tujuan akhirnya adalah konstruksi iklan yang sesuai bagi masing-masing pengguna. 

Dalam tiap relasinya dengan media sosial, tertinggal jejak digital pengguna. Digital path ini, dengan menggunakan aplikasi yang dikembangkan, dianalisis sebagai data yang terhubung dengan data-data lainnya. Ini mampu membangun gambaran tentang perhatian, minat dan opini seseorang. 

Tak heran, ketika semua informasi sudah hadir utuh, tahap berikutnya adalah produksi iklan yang sesuai. Iklan untuk kepentingan penawaran pemasaran produk komersial, maupun produk politik. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa dalam jajak pendapat Brexit, maupun kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton di Pemilu AS tahun 2016, diduga terjadi lewat mekanisme pengawasan data dan produksi iklan macam ini.

Hal menyakitkan kedua, media sosial dihadirkan sebagai mesin yang memproduksi kecanduan dan keterlibatan emosi yang intensif. Di awal kehadirannya, media sosial diharapkan jadi sarana memberdayakan masyarakat. Masyarakat berinteraksi mempertukarkan informasi, mendorong terjadinya pilihan yang rasional. 

Namun dalam perkembangan berikutnya, platform ini lebih dianggap sebagai penyumbang penyakit masyarakat. Terlalu banyak waktu yang tersita untuk mengkonsumsi konten-konten yang dihasilkannya. Ini bahkan melibatkan emosi yang berlebihan. 

Mengemukanya emosi seraya absennya rasionalitas, jadi pembunuh efektif demokrasi. Pemilik akun diserap dalam aneka pusaran peristiwa politik. Mereka menjelma jadi pendukung demagog politik, lantaran tak rasionalnya telaah informasi yang dilakukan. Kecanduan dan dominasi emosional,  melahirkan fanatisme buta yang mencelakakan.

Kebenaran menyakitkan ketiga, adalah algoritma yang mendasari ketertarikan pada konten-konten media sosial, mendorong munculnya sikap otoritarian. Algoritma ini bekerja berdasarkan pengalaman interaksi dengan perangkat digital sebelumnya. Tema konten, pola trafik, pemberian komentar, ketertarikan tema topik, jadi bahan baku prediksi preferensi perilaku penggunanya. Kerja algoritma sebagai filter. 

Informasi-informasi yang senada dengan pengalaman sebelumnya akan semakin ditawarkan. Sebaliknya informasi alternatif yang tak ada riwayat penggunaannya, bakal tersaring dan tak ditawarkan. Realitas hadir dalam gradasi warna yang senada. Tentu saja keragaman hadir tak utuh. Pengguna media sosial terjebak dalam sebuah gelembung penyaringan, filter bubble. 

Keadaan terfilter, seraya menganggap dunia memang demikian adanya. Ini jadi problem manakala hadir pihak lain dengan pandangan alternatifnya terhadap dunia. Dunia yang sama-sama ada, namun masing-masing mengalami setengahnya. Terhadap produk politik yang diserapnya, kehadirannya pun tanpa sikap kritis: benar semua atau salah semua. 

Masing-masing pihak bertahan dalam pandangan yang tak utuh, jatuh dalam seteru. Demokrasi dengan dukungan kebenaran yang setengah benar dan setengah salah. Model konstruksi kebenaran macam ini, merupakan praktik otoriter. Yang tanpa disadari dipaksa oleh algoritma. 

Tiga kebenaran di atas mendudukkan media sosial sebagai produsen otoritarian. Mekanime pengawasan seraya menyodorkan pilihan berbasis data yang diolah, keterlibatan akibat kecanduan yang diikuti eksploitasi emosi, juga konstruksi realitas akibat filter yang dibangun oleh algoritma.

Kebenaran hadir lewat paksaan, mekanisme teknologis memegan peran sentral. Apapun mekanismenya, hilangnya kesempatan melakukan pilihan bebas mempertimbangkan pilihan politik, tak ubahnya praktik otoriter.

Kematian demokrasi akibat hadirnya praktik otoriter, juga mengemuka lewat buku How Democracies Die? Buku ini ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, ilmuwan politik Universitas Harvard di tahun 2018. Premis penting dalam buku ini: demokrasi mati, bukan oleh laki-laki dan lewat kekuatan senjata. 

Demokrasi mati bahkan oleh mereka yang terpilih secara demokratis namun menerapkan praktik otoriter. Idealnya dalam demokrasi terdapat sikap saling toleransi dan menghormati keberadaan oposisi. Levitsky dan Ziblatt menguraikan pentingnya menghormati pendapat yang berbeda, karena pengungkapannya sah. Berbeda tak sama artinya, sebagai sikap anti patriotis. 

Dalam praktik demokrasi di media sosial, sering kali lewat agen-agen pihak yang berkuasa, perbedaan diwacanakan sebagai kebodohan, sikap tak patut, bahkan melawan pemerintahan yang sah.  

Pemerintahan Presiden Donald Trump dan beberapa pemimpin di Amerika Latin, seperti Venezuela maupun negara Eropa seperti Rusia, mengalami praktik otoriter macam ini. Demokrasi menapaki hari-hari akhirnya, lantaran sikap pemimpin yang terpilih secara konstitusional, namun otoriter. Mereka bahkan memperluasnya lewat penggunaan media sosial. 

Lalu, masihkah berharap pada utopia media sosial sebagai ruang publik, untuk menghasilkan produk demokrasi yang terlegitimasi ?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait