URnews

Masalah ABK Indonesia: Penahanan Upah hingga Kekerasan

Shelly Lisdya, Senin, 31 Mei 2021 17.47 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Masalah ABK Indonesia: Penahanan Upah hingga Kekerasan
Image: ilustrasi kapal laut. (Freepik/bublikhaus)

Jakarta - Laporan Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, ada penahanan upah hingga tindakan kekerasan di tempat kerja kepada anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan asing.

Laporan 'Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers' menyoroti komplain yang dilaporkan ABK Indonesia kepada SBMI dalam periode Mei 2019 hingga Juni 2020 (13 bulan) untuk mengungkap pola dan jenis kerja paksa yang masih terjadi di kapal penangkap ikan jarak jauh.

Melalui serangkaian pemeriksaan dokumen, wawancara dengan ABK, serta pencocokan dengan pemberitaan di media massa, Greenpeace Asia Tenggara mengidentifikasi indikator kerja paksa yang paling banyak dilakukan, diantaranya penahanan upah (87 persen), lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan (82 persen), penipuan (80 persen) dan penyalahgunaan kerentanan (67 persen).

Koordinator Riset Regional Greenpeace Asia Tenggara, Ephraim Batungbacai mengatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap komplain dari 62 ABK Indonesia.

Kemudian ditemukan sebanyak 20 perusahaan agen tenaga kerja Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari China, Hong Kong, Taiwan, Cote d’Ivoire, dan Nauru diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia.

Dari 118 kasus yang dilaporkan sejak Mei 2019 hingga Juni 2020, hanya 62 kasus dengan kelengkapan dokumen yang baik yang dimasukkan dalam laporan.

Dalam sebuah wawancara dengan seorang ABK yang bekerja di kapal Zhou You 905 menyatakan, bahwa upah yang diterimanya berbeda dengan yang tertera pada kontrak kerja. 

"Setelah bekerja di laut selama 11 bulan, saya hanya menerima Rp 8,8 juta (US$615) dan disertai dengan intimidasi. Sedangkan istri saya yang menerima uangnya. Dia harus menandatanganinya dengan kontrak yang sudah saya tandatangani, karena upah yang saya tandatangani pada dokumen perjanjian kerja di laut tidak sesuai dengan yang ditandatangani istri saya,” kata salah satu ABK itu yang dilansir dari laman Greenpeace, Senin (31/5/2021).

1622433243-kapal-penangkap-ikan.jpegSumber: Ilustrasi kapal penangkap ikan (Pixabay/Anestiev)

Sementara itu, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, pemberitaan tentang perbudakan terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing meningkat drastis.

"Dalam empat tahun terakhir, negara-negara di Asia Tenggara adalah ladang subur bagi rekrutmen ABK yang bekerja di kapal ikan asing, khususnya kapal ikan jarak jauh," katanya.

Afdillah pun meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah diplomasi. Hal ini untuk memastikan perlindungan para pekerja migran di atas kapal perikanan.

“Indonesia sebagai pengirim tenaga kerja terbanyak di Asia Tenggara harus proaktif melakukan langkah-langkah diplomasi dengan mendesak negara-negara terkait seperti negara pemilik kapal, negara pelabuhan dan negara industri pengolahan ikan untuk memastikan perlindungan kepada para pekerja migran di atas kapal perikanan," terangnya.

“Kelemahan regulasi di Indonesia dan tidak adanya perlindungan yang jelas terhadap ABK, dimanfaatkan oleh agen perekrut tenaga kerja merekrut tenaga kerja melalui praktek birokrasi yang koruptif,” lanjut Afdillah.

Menanggapi hal ini, Ketua umum SBMI, Hariyanto menyayangkan kerja aparat penegak hukum yang dinilai sangat lamban dalam menyelesaikan kasus perdagangan orang ABK. Dari catatan SBMI, banyak kasus yang dilaporkan sejak 2014 yang belum tuntas hingga hari ini.

“Aparat penegak hukum harus responsif dan tunduk pada Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Apabila mengacu pada undang-undang tersebut, ada dua hal yang harus dipastikan, yakni korban mendapatkan hak restitusi dan pemenjaraan terhadap pelaku,” ujar Hariyanto.

Selain hak restitusi untuk korban dan penindakan terhadap pelaku, Hariyanto juga menyoroti lemahnya upaya pencegahan agar tidak ada lagi ABK Indonesia yang menjadi korban.

“Semakin banyak yang berangkat dan tanpa sadar bahwa ia menjadi korban TPPO. Ketika mereka sudah berangkat [dan mengalami kekerasan], mereka susah mendapat bantuan hukum. Dan karena prosesnya panjang, ini membuat kejenuhan dan mempersulit upaya memperoleh haknya. Akhirnya mereka menjadi korban dua kali.”

FYI, laporan 'Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers' merupakan lanjutan dari laporan serupa yang diluncurkan pada 2019, 'Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas'. 

GPSEA membandingkan keduanya dan menemukan bahwa jumlah komplain yang dilaporkan bertambah menjadi 62 komplain (selama 13 bulan, Mei 2019 – Juni 2020) dari 34 komplain (selama 8 bulan, Desember 2018 – Juli 2019). 

Tidak ada komplain yang tumpang tindih pada kedua laporan ini. Selain itu, jumlah kapal di mana praktik kekerasan diduga terjadi juga bertambah menjadi 45 kapal dari 13 kapal.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait