Beautydoozy

Memahat Luka, Meraih Standar Kecantikan

Firman Kurniawan S, Selasa, 29 November 2022 13.06 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Memahat Luka, Meraih Standar Kecantikan
Image: Ilustrasi galau (Freepik/jcomp)

ADA yang bertentangan sesungguhnya, saat memadukan 2 kata yang kerap diperbincangan dan seolah diterima tanpa perdebatan: 'standar kecantikan'. Pengertian standar yang mengacu pada International Organization for Standardization, kurang lebih sebagai ketentuan yang dibuat melalui kesepakatan para ahli dan disetujui oleh badan yang diakui. Ini bertujuan untuk memberikan panduan tentang desain, penggunaan, atau kinerja bahan, produk, proses, layanan, sistem maupun orang. 

Batasan di atas dikonfirmasi oleh merriam-webster.com yang diakses pada November 2022, yang menyebut standar sebagai sesuatu yang diatur dan ditetapkan oleh otoritas, sebagai aturan untuk ukuran, kuantitas, berat, luas, nilai atau kualitas. Standar bersifat obyektif, ditentukan lewat kesepakatan. 

Sedangkan kecantikan, dengan mengacu pada kajian yang dilakukan Douglas Main, 2014, lewat artikelnya yang berjudul 'The Science of Beauty', menyebut kecantikan sebagai input visual yang memberi kesenangan pada pikiran.

Akibat kesenangan ini, mengacu pada sejumlah penelitian, berada di sekitar pohon, tanaman, dan pengaturan alami lainnya, membantu menghilangkan stress bahkan meredakan kecemasan maupun depresi. Douglas Main adalah seorang jurnalis yang berupaya mengeksplorasi akar kecantikan, sejak awal evolusi hingga tampilannya pada seni, maupun dari simetri hingga unsurnya sebagai kesuburan

Pendapat Douglas Main nampaknya punya pendahulu, berdasar ungkapan David Hume, 1757. David Hume adalah filsuf asal Scotlandia yang hidup antara tahun 1711 hingga 1776. Ungkapan Hume sebagaimana dikutip Plato.stanford.edu, 2012, dalam bahasan yang berjudul 'Beauty' menyebut, “Keindahan bukanlah kualitas obyek yang ada pada dirinya sendiri. Kecantikan hanya ada dalam pikiran orang yang merenungkannya, dimana tiap pikiran merasakan keindahan yang berbeda. Satu orang bahkan mungkin merasakan kelainan bentuk, sementara orang lain melihat itu sebagai keindahan”.

Uraian Hume ini mendapat penguatan filsul lain, Immanuel Kant, 1790, “Oleh karena itu, penilaian terhadap kecantikan bukanlah penilaian berdasarkan kognisi. Penilaian terhadap kecantikan tidak bersifat logis, melainkan estetis. Landasan penentuannya bersifat subyektif”. 

Ketiga pendapat yang mengkatagorikan kecantikan sebagai hal yang subyektif itu, dipungkasi pepatah Inggris, “Beauty is in the eye of the beholder”, kecantikan itu terletak pada mata yang melihatnya.   

Adanya upaya menyatukan, obyektivitas standar dengan subyektivitas kecantikan, hampir jadi ambisi yang sia-sia. Setidaknya butuh energi yang sangat besar untuk mewujudkannya. Namun sejarah menunjukkan realitas yang berbeda. Konstruksi kecantikan, yang bersumber dari keragaman ruang maupun waktu, dipaksa tampil dalam definisi tunggal.

Ini juga tercatat, jadi upaya serius manusia sepanjang sejarah. Yang kemudian diterima hari ini: cantik adalah berkulit putih, berbadan tinggi, dengan perawakan langsing dan berambut panjang. Sebuah standar yang mengacu pada genetika yang dimiliki bangsa-bangsa Barat. 

Jika ditelaah lebih jauh, standar kecantikan yang digaungkan ini, merupakan salah satu perwujudan imperialisme bangsa Barat kepada bangsa-bangsa lain di dunia. Ini dapat didorong oleh adanya kesenjangan kuasa. Kesenjangan yang berakar dari lemahnya dominasi pengetahuan maupun kekuatan perangkat perang yang dimiliki bangsa-bangsa di luar bangsa Barat. Sehingga yang terjadi kemudian, eksport kekuatan maupun pengaruh budaya bangsa pengagasnya. Tentu demi keuntungan pasar maupun politik, bangsa penggagasnya. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait