URnews

Memikirkan Perasaan Korban Jauh Lebih Penting dalam Tangani Kasus Kekerasan Seksual

Anisa Kurniasih, Kamis, 28 Januari 2021 14.28 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Memikirkan Perasaan Korban Jauh Lebih Penting dalam Tangani Kasus Kekerasan Seksual
Image: Ilustrasi pemerkosaan. (Pixabay)

Jakarta - Kasus kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Kekerasan secara seksual yang dilakukan oleh satu pihak secara sengaja kepada korban tersebut bisa menimbulkan reaksi negatif seperti benci, marah, malu, sedih, tersinggung, dan lain sebagainya.

Dari sekian banyak kasus yang beredar di berbagai media dan media sosial, kebanyakan perempuan yang menjadi korban dan justru mendapat respons negatif, bahkan disalahkan terkait kasus yang ia alami.

Terkadang publik justru menyudutkan korban hingga menyalahkan dan mengaitkannya dengan sikap, respons, hingga pakaian korban.

Bahkan, melalui media sosial masing-masing, ada saja netizen yang berusaha mencari-cari kesalahan korban dan menuntut korban untuk langsung mengambil tindakan tegas kepada pelaku.

Padahal menurut Poppy R Dihardjo, penggagas No Recruit List, tidak selalu kekerasan seksual harus berujung pada laporan kepolisian atau tindakan hukum tanpa memikirkan perasaan korban.

Ia mengungkapkan, masyarakat seringkali menyalahartikan tentang ‘kebebasan ekspresi’ untuk berbicara apapun yang mereka (publik) mau tanpa mengedepankan empati.

“Masyarakat sekarang menyalahgunakan kebebasan ekspresi dengan ngomong apapun yang mereka mau tanpa mengedepankan empati. Yang bisa kita lakukan ya kembali fokus ke korban,” ujar Poppy dalam live Instagram bersama Urbanasia, Rabu (27/1/2021).

“Kita ga perlu ngomong “masa lo harus jadi korban dulu baru lo paham rasanya gimana” yang bisa kita lakukan adalah cukup mengedepankan empati, sebelum jari bergerak, otak memproses dulu harusnya,” sambung dia.

Poppy menambahkan, seringkali pelaku juga menganggap enteng perbuatan yang ia lakukan dan akhirnya memanfaatkan media sosial untuk meminta maaf. 

“Misal si pelaku memohon permintaan maaf di media sosial, terkadang netizen juga menyerang korban dan akhirnya victim blaming,” kata Poppy.

“Mungkin netizen akan menganggap, wah ini mah barisan sakit hati aja, nah pada saat mereka masuk ke no recruit list ini, setelah kita pahami jauh mengenai kasusnya, ternyata memang mereka merasakan kerugian setelah ditinggalkan laki-lakinya,” kata Poppy.

Ia menjabarkan, kerugian yang dialami korban bisa dalam bentuk apapun, baik finansial maupun emosional.

“Namun, mereka tetap korban, yaitu korban perasaan dan berarti dia butuh penguatan dan kita nggak yang buru-buru lapor polisi, belum tentu itu solusinya, mereka butuh penguatan,” ungkapnya.

Melalui No Recruit List, Poppy dan penyintas lainnya juga berupaya untuk bisa mengawal korban dan menyediakan segala yang korban butuhkan untuk menangani kasus tersebut.

“Yang bisa kita lakukan di jejaring kita, kita berusaha gerilya, kita hanya menyampaikan ke akun yang memblow-up ini, untuk kasih tahu, kalau mereka para korban bisa ke kita (No Recruit List) kalau perlu bantuan,” sambung Poppy.

Bicara mengenai kekerasan seksual dalam hubungan percintaan, Poppy juga menyinggung soal istilah ‘grooming’, yakni bentuk manipulasi romantis di sebuah hubungan untuk membuat korban merasa paling disayang dan dipahami oleh pasangannya (pelaku).

“Grooming ini adalah bentuk manipulasi romantis dalam sebuah hubungan yang kadang korbannya saja tidak mengerti , hampir mirip seperti toxic relationship ‘wah, kayaknya kamu disayang, dipahami’, “ungkapnya.

Pelaku pun mencari mangsa perempuan yang rentan dan mudah dikuasai secara pelan-pelan yang pada akhirnya perempuan yang berpikir bahwa ini adalah hubungan yang nyata dan tepat padahal setelah itu, pelaku beraksi dengan segala modusnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait