URnews

Mengulik Nasib 5 Startup Unicorn Indonesia Selama Pandemi COVID-19

Eronika Dwi, Senin, 28 Desember 2020 15.48 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengulik Nasib 5 Startup Unicorn Indonesia Selama Pandemi COVID-19
Image: Ilustrasi Traveloka (Traveloka)

Jakarta - Hingga hari ini, Senin (28/12/2020) pukul 13:00 WIB, kasus positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 713.365 dengan jumlah pasien meninggal akibat COVID-19 sebanyak 21.237.

Pandemi COVID-19 yang masih terus merebak itu pun telah mengubah banyak aspek di kehidupan masyarakat.

Situasi ini sekaligus menjadi tantangan yang cukup sulit bagi para pebisnis karena laju perekonomian melambat, termasuk startup unicorn di Indonesia.

Sebagai informasi, startup unicorn merupakan startup yang punya nilai valuasi di atas US$ 1 miliar atau kurang lebih setara Rp 14,1 triliun.

Di Indonesia, ada lima yang menyandang predikat startup unicorn, yakni Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO.

Bagaimana nasib lima startup unicorn ini selama pandemi COVID-19? Simak ulasan berikut!

Melansir laporan e-Conomy SEA tahun 2020, pada semester pertama 2020, investasi startup unicorn mengalami penurunan menjadi US$ 6,3 miliar dari US$ 7,7 miliar di tahun sebelumnya pada periode yang sama.

Meski demikian, ada startup unicorn Indonesia yang dikabarkan jadi incaran investor Asia untuk penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO).

Sejumlah perusahaan akuisisi mempunyai Special Purposes Acquisition Companies (SPECs) atau tujuan khusus yang mengincar sejumlah startup Indonesia termasuk Gojek, Bukalapak, dan Traveloka, di samping perusahaan asal Singapura, Grab.

Perusahaan SPECs sendiri mengusung misi mengumpulkan pendanaan, kemudian mengakuisisi perusahaan privat untuk mereka jadikan sebagai perusahaan publik.

Gojek

1585049299-driver-gojek.jpegSumber: Driver Gojek. (Gojek)

Menurut Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), startup yang dirintis tahun 2010 ini mengalami anjlok sebesar 62-85 persen pada transaksi mitra Gojek selama pandemi COVID-19.

Selain itu, layanan antar makanan atau GoFood juga mengalami penurunan sebanyak 76 persen. Penurunan pendapatan paling parah pun dirasakan oleh ojek online (ojol).

Traveloka

1604380496-traveloka.pngSumber: Ilustrasi Traveloka (Traveloka)

Seperti Gojek, Traveloka juga mengalami penurunan yang cukup besar selama pandemi COVID-19. Traveloka bahkan mengalami kemerosotan bisnis terburuk sepanjang sejarah perusahaan.

Berdasarkan rilis resmi, pada akhir Juli 2020, mitra Traveloka mulai dari transport, akomodasi, rekreasi, sampai restoran mengalami permintaan yang menurun drastis.

Di sisi lain, permintaan pengembalian dana justru melonjak signifikan di saat sejumlah hotel mengalami tingkat hunian terendah. Hal tersebut membuat bayak hotel yang terpaksa harus tutup sementara waktu.

Untungnya, penurunan tersebut dapat teratasi ketika Traveloka menjalani 'Traveloka Clean Partners', yang berkomitmen menerapkan protokol cleanliness, health, safety, dan environment (CHSE).

Vice President of Marketing Transport & Financial Service, Andhini Putri, mengklaim ada peningkatan jumlah konsumen setelah mitra menjalani kampanye tersebut.

Menurut data CBInsight, startup travel yang didirikan tahun 2012 itu mempunyai angka valuasi sebesar US$ 2 miliar atau setara Rp 28 triliun.

Didirikan oleh Ferry Unardi, Derianto Kusuma, dan Albert Zhang, layanan Traveloka saat ini bisa dinikmati di Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Tokopedia

1606215911-Proteksi-Gadget-Tokopedia.jpgSumber: Tokopedia.

Berbeda dengan Gojek dan Traveloka nasib penjualan startup yang fokus di bidang e-commerce online-to-offline (O2O) ini justru naik sebanyak dua juta active seller selama pandemi.

Menurut Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, saat ini Tokopedia memiliki sembilan juta penjualan aktif, yang terdiri dari hampir 100 persen penjual merupakan pelaku UMKM.

Meski begitu, pihak Tokopedia juga tak memungkiri bahwa adanya tekanan ekonomi yang hebat selama pandemi dari dalam negeri.

Namun, selama pandemi, penjualan Tokopedia masih stabil karena pengguna banyak berbelanja produk-produk yang bisa digunakan selama di rumah saja.

Sementara penurunan terdapat pada baju pesta karena minimnya acara pernikahan selama pandemi COVID-19. Terlebih adanya aturan dilarang mengadakan kegiatan yang bisa menimbulkan kerumunan termasuk pesta pernikahan.

Hingga saat ini, perusahaan yang didirikan sejak 2009 itu, mempunyai sekitar 150 juta produk, 33 produk digital, dan 50 sistem pembayaran dengan total nilai valuasi mencapai US$ 7 miliar atau sekitar Rp 99,2 triliun.

Bukalapak

UninstallBukaLapak.jpegSumber: Cronyos.com

Sama seperti Tokopedia, Bukalapak juga mencatat rekor kenaikan transaksi selama pandemi COVID-19.

Terdapat sekitar 5,5 juta mitra Bukalapak yang mencatat transaksi hingga 300 persen atau tiga kali lipat dibanding periode sama tahun lalu.

Produk yang paling banyak dibeli pengguna selama pandemi adalah kebutuhan sehari-hari, alat kesehatan, dan hobi.

Pencapaian ini bahkan menjadi rekor catatan transaksi tertinggi sepanjang berdirinya startup e-commerce yang didirikan oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Fajrin Rasyid itu, yakni sejak 2010.

OVO

1609143860-OVO.jpgSumber: Instagram @ovo_id

Sistem pembayaran melalui OVO menunjukkan tren peningkatan dengan angka sekitar 110 persen selama pandemi.

Menurut Head of Corporate Communication OVO, Harumi Supit, transaksi jasa pengiriman makanan meningkat lebih dari 15 persen, dan pencarian dana pinjaman hampir mencapai 50 persen.

Selain itu, pertumbuhan jumlah pengguna baru juga meningkat secara signifikan hingga 276 persen.

Layanan pembayaran elektronik ini ditafsir punya nilai valuasi sebesar US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 41 triliun, yang terhitung sejak pertengahan Maret 2018.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait