URguide

Merundung Peran Antagonis 'Bu Tejo' hingga ke Ranah Pribadi? Ini Kata Sosiolog

Anisa Kurniasih, Jumat, 28 Agustus 2020 16.41 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Merundung Peran Antagonis 'Bu Tejo' hingga ke Ranah Pribadi? Ini Kata Sosiolog
Image: Ilustrasi bullying. (Freepik)

Jakarta - Hadirnya karakter antagonis dalam sebuah cerita sering kali mengundang emosi penonton. Bahkan, jika peran yang dibintangi sang aktor berhasil diingat dan melekat, tak jarang penonton menyerang akun media sosial pribadi tokoh tersebut hingga melakukan perundungan atau bullying.

Contoh saja dalam film pendek 'Tilik'. Penonton sempat dibuat emosi dengan nyinyiran karakter Bu Tejo si tukang nyinyir. Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa sosok Bu Tejo dekat dengan kehidupan kita.

Sayangnya, berkat akting nyinyirnya yang luar biasa itu, Siti Fauziah yang merupakan pemeran Bu Tejo justru di-bully oleh beberapa netizen loh. Bahkan sampai membuatnya menangis berhari-hari.

Menurut Siti Fauziah, dia sangat terpengaruh dengan perkataan negatif netizen tersebut.

"Ya, kepengaruh. Aku juga orang biasa sama kayak kalian. Bedanya, sekarang aku banyak kerjaan aja," ucap Siti Fauziah saat ditemui wartawan di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin (24/8/2020) kemarin.

1597907873-utube-tilik.jpgSumber: Tokoh Bu Tejo dalam film 'Tilik' (Tangkapan layar YouTube Ravacana Films)

Lalu, sebenarnya apa sih yang melandasi sikap penonton dan netizen untuk melampiaskan amarah mereka ke tokoh antagonis yang mereka benci? Seperti apa dampak yang akan terjadi jika hal itu terus berlangsung?

Kepada urbanasia, Ida Ruwaida, Sosiolog dari Universitas Indonesia menjabarkan tentang persoalan tersebut, guys.

Menurutnya, keberhasilan suatu film, drama, opera, atau sandiwara bukan semata karena ceritanya, namun lebih karena kemampuan para aktor dalam memainkan peran seolah realitas di film tersebut nyata adanya, bahkan mampu menstimulasi emosi penonton.

"Dalam konteks ini, aktor yang memainkan peran melankolis (sebagai korban) akan membuat 'baper' penonton, sementara aktor pemeran antagonis akan menjadi sasaran atau pelampiasan sikap kecewa dan amarah penonton," ujar Ida Ruwaida kepada Urbanasia, Jumat (28/8/2020).

Nah, perundungan penonton, pada dasarnya lebih karena faktor membela atau berpihak pada korban dari si aktor antagonis tersebut. Artinya, peran antogonis itu harus dilihat dalam konteks ceritanya.

Ida menjabarkan, penonton pun akhirnya lupa bahwa itu semua hanya sandiwara. Itu berarti, penonton atau masyarakat tidak bisa memilah antara realitas nyata dan realitas film (hyper-reality).

"Pem-bully-an tersebut tentu tidak wajar, meski di sisi lain bisa memberi pembelajaran atau kontrol sosial agar masyarakat tidak bersikap, bertutur, berperilaku antagonis," sambungnya.

Baca Juga: Bikin Bu Tejo Populer, Ini Sinopsis Film 'Tilik'

730x480-img-76035-ilustrasi-bullying-pixabayanemone123.jpgSumber: Ilustrasi bullying. (Pixabay)

Namun, masyarakat di sisi lain bersikap 'double standard' karena justru merekalah yang melakukan tindakan antagonis (mem-bully) dan lain-lain.

"Sikap puas masyarakat ini lebih karena efek contagion dari sejumlah pihak (termasuk melalui media sosial, dan lainnya) yang turut serta menstimulasi bahkan membakar emosi masyarakat pasca menonton film," kata Ida lagi.

Ia mengatakan, saat masyarakat kehilangan rasionalitasnya, maka mereka lebih mudah distimulasi untuk melakukan tindak kekerasan, termasuk kekerasan simbolik, verbal ataupun non verbal.

Adanya perundungan terhadap tokoh-tokoh antagonis yang disangkutkan dengan masalah pribadi juga sangat berpeluang untuk dilaporkan guys.

Tindakan itu pun sekarang bukan hanya masuk ke ranah pribadi, tetapi malah terkadang masuk menjadi tindak kekerasan, dan ada pihak-pihak yang resah, bahkan terdampak.

Lalu, apa dampaknya bagi pelaku dan korban?

Menurut Ida, dampak pada pelaku adalah perlu mampu belajar bersikap 'rasional' dan tidak mudah terpancing. Nah, selain itu, untuk dampak pada korban sendiri adalah selain bisa berdampak psikologi sosial, juga bisa berdampak stimulan depresi.

Nah, solusinya apa guys?

"Literasi publik, mulai dari sekolah dan keluarga. Lalu para pekerja seni/film juga perlu dan harus dilibatkan untuk aktif kampanye publik sebagai wujud tanggung jawab sosial atas profesinya," tutup Ida.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait