
Jakarta - Sejak film Desa KKN Penari viral, nyaris semua percakapan di tongkrongan membahas soal hantu. Walaupun, saling cerita pengalaman mistik menjelang malam bukanlah hal baru. Biasanya, habis bahas kehidupan dan karir, tanpa sengaja kita menjadikan kisah klenik sebagai hidangan penutup.
Ya, Saya pun juga sering begitu. Terakhir seminggu lalu, setelah perjalan dinas ke Waingapu, Sumba Timur. Saya mendapat cerita seram terkait keberadaan mahluk gaib di kantor saya. Mulai dari tangga yang mencekam, hingga satu sudut ruangan yang konon katanya sangat seram.
Gosipnya sih macam-macam, mulai dari langkah kaki tanpa sosok, perempuan menangis, hingga roh yang terlihat terbakar. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa cerita ‘setan’ selalu punya kesamaan: Sama-sama hanya merasakan ‘keberadaan hantu’ dan cerita selalu di mulai kata ‘teman gue’.
Saya adalah orang yang suka memvalidasi sesuatu, bukan karena tidak percaya cerita orang, saya cuma ingin mencoba pengalaman baru.
Akhirnya, setelah pulang dari kabupaten yang pernah jadi tempat syuting Pendekar Tongkat Emas, saya mulai menghampiri sudut-sudut angker di kantor saya. Apa yang saya dapat? Tidak ada apa-apa, selain rasa penasaran yang bertambah.
Hingga saat ini, Saya orang yang percaya bahwa takhayul-takhayul lahir dari budaya bertutur masyarakat dunia. Kenapa saya bilang dunia? Karena yang suka klenik bukan cuma orang Indonesia.
Paling banyak cerita hantu selalu muncul dari orang ketiga yang tidak terlibat dalam perbicangan langsung di meja kita.
Bergosip dan bercerita memang sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Ini yang membuat kita selalu percaya apa yang dikatakan orang lain, khususnya sesuatu yang tidak kita saksikan dengan mata kita sendiri. Singkatnya, kita terbiasa menerima cerita hantu atau terkena sugesti takhayul karena kita percaya dengan orang yang menceritakannya.
Menurut laporan penelitian Rense Lange dan James Houran, psikolog asal University of Illinois, cerita hantu selalu bermuatan sugestif, dimana seseorang yang diberitahu bahwa tempat yang mereka tinggali berhantu, cenderung merasakan kehadiran hantu ketimbang orang yang tidak pernah di beritahu.
Saya coba buat skenarionya, misalnya kita baru masuk sebuah tempat kerja baru, sudah selama satu bulan, rasanya biasa-biasa saja, tidak membuat kita ketakutan, boro-boro hingga berfikir ada hantu. Pada suatu hari, atasan kita bercerita bahwa di beberapa sudut kantor ada ‘penghuninya’, kita yang awalnya santai malah mendadak jadi ikut-ikutan cemas ketakutan.
Cerita hantu tersebut tidak berhenti di kita, kita akan menceritakan hal yang sama kepada orang-orang yang belum tahu. Ada pepatah yang mengatakan, kalau seseorang dikasih uang akan dikurang-kurangi, tapi kalau diberi cerita selalu ditambah-tambahi, ini yang membuat cerita hantu semakin menyebar dan mengakar di benak kita, lalu menjelma menjadi takhayul yang diyakini bersama.
Takhayul muncul sebagai usaha kita untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak kita ketahui. Menariknya, jika takhayul ini dipercaya oleh banyak orang, setiap orang yang percaya akan menganggapnya sebagai realitas. Sebagaimana kata Francis Bacon, ‘kita lebih memilih mempercayai sesuatu yang kita ingin anggap benar’. Ini yang membuat kita, sulit mencerna fakta ketimbang cerita pada setiap kisah hantu.
Ini selaras dengan pendapat psikolog, Stuart Vyse, menurutnya kita tidak lahir dalam keadaan percaya takhayul, kita mempelajari takhayul itu, kita dibentuk tatanan masyarakat untuk menjadi orang yang percaya pada hal-hal mistik dan supernatural.
Di sisi yang lebih dalam, dalam buku Supersense karya Bruce Hood, selain karena konstruksi sosial, kepercayaan kita kepada hal supernatural juga disebabkan oleh struktur otak manusia di bagian korteks visual yang terletak di bagian belakang kepala kita, yang memang terbiasa memunculkan sesuatu dari ketiadaan.
Saya mencoba memberikan contoh sederhana, sebenarnya bukan mata yang memproses penglihatan, tapi otak kita. Seluruh sel otak yang ada di dalam korteks visual menerima input dari mata kita, namun kita memprosesnya dengan sesuatu yang kita percayai. Jadi sebenarnya, sudah ada bias persepsi saat kita mengamati realitas.
Kita sering mendengar bahwa hantu pocong bersarang di kebon pisang. Saat terlihat ada sesuatu yang berbentuk ‘putih’ di antara pohon pisang kita langsung mengasosiasikannya dengan keberadaan pocong. Padahal yang sering terjadi, sesuatu yang ‘putih’ tersebut merupakan daun pisang yang basah yang memantulkan cahaya bulan di malam hari.
Kenapa pada fenomena alam tersebut, hantu menjadi jawaban termudah? Hal ini disebabkan insting kita sebagai manusia selalu ingin alasan untuk mengisi ketidaktahuaan kita pada hal yang tidak terduga atau belum ditemukan penjelasan ilmiahnya.
Menariknya, walaupun telah ditemukan penjelasan yang lebih ilmiah dan rasional. Takhayul tetap akan terus bergentayangan dibenak kita, karena telah menancap di alam bawah sadar kita selama bertahun-tahun sejak kita masih kecil.
Karena prinsip kerja otak sebenarnya sederhana, kita akan menganggap sesuatu itu nyata jika ia cocok dengan keyakinan kita. Setelah kita yakin, kemudian ia akan menjelma menjadi refleks alam bawah sadar kita yang menggerakkan syaraf-syaraf kita saat kita jika merespon sesuatu, seperti saat bulu kudu kita merinding ketika memasuki ruangan yang gelap. Ini mekanisme biologis dan psikologis yang sangat wajar.
Jadi saya akan tutup dengan beberapa pertanyaan untuk ajang beradu cerita hantu saat kita ditongkrongan nanti.
Pertama, hantu itu terbukti berpindah-pindah tempat awalnya hantu bergentayangan di hutan namanya kuntilanak, lalu berpindah ke rumah sakit kita kenal suster ngesot, tidak lama muncul rumah angker di Pondok Indah, apakah di masa depan hantu akan ada di metaverse?
Kedua, sebelum populernya film KKN Desa Penari, dalam perbincangan masyarakat, hantu perempuan selalu berpenampilan seperti penari tradisional, mungkinkah 100 tahun dari sekarang penari break dance berpeluang menjadi hantu gaya baru?
Ketiga, bagaimana mitigasi resiko bagi komunitas tuyul saat memasuki era cashless soecity? Apakah mereka akan beralih profesi?
Keempat, akankan keberadaan hantu nyonya Belanda di Indonesia, akan tergantikan oleh hantu opa-opa Korea?
Kelima, mungkinkah muncul hantu di luar gender dan seks laki-laki atau perempuan hari ini?
**) Penulis merupakan Komisaris perkumpulan Warga Muda, Inisiator Local Heroes Network dan Chief Destruction Officer Mindstream!. Sejak awal ia berkarir sebagai youth development specialist yang telah dipercaya baik oleh institusi pemerintahan, lembaga swasta dan CSO. Saat ini ia tergabung ke dalam Indonesia Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia