URnews

Dari Aktivitas Jempol ke Pengawasan

Firman Kurniawan S, Selasa, 13 Juni 2023 23.38 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dari Aktivitas Jempol ke Pengawasan
Image: Freepik

Jakarta - Peran pengawasan media digital sebagai kaki tangan Survaillance Capitalism, tak banyak yang menyangkal. Uraian panjang lebarnya, diungkap lewat buku ‘The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power’, oleh Shoshana Zuboff, 2019. Dalam posisinya mengawasi, media sosial melibatkan apparatus negara, para produsen, juga warga negara sendiri.

Pengawasan oleh negara, mirip kisah George Orwell, dalam novel ‘1984’, yang terbit tahun 1949. Apparatus negara mewujud sebagai big brother, mengawasi perilaku warga negara. Kepatuhan seluruh warga negara diintip. Yang tak patuh dihukum. Hari ini, lewat media digital searching engine, website, media sosial, juga aplikasi sosial-komersial yang diperkuat artificial intelligence warga negara diikuti gerakannya. Di Cina ini semua dilakukan sebagai social credit system. Sedangkan pengawasan oleh produsen, dilakukan lewat digital path yang diolah jadi informasi perilaku. Seluruhnya membentuk algoritma, yang menggambarkan kecenderungan keputusan konsumen. Dengan cara ini, iklan tak hadir sekedar menginformasikan produk. Iklan ditargetkan untuk mengaktualisasikan keputusan pembelian. Pengawasan membuahkan kepatuhan konsumsi. Terjadi minimalisasi kegagalan investasi.

Makin dahyat pengawasan, saat seluruh warga yang melakukannya. Antar warga di media sosial, terjadi aktivitas saling mengawasi. Seluruhnya membentuk common behavior. Perilaku umum yang dapat diterima. Mekanismenya, pada perilaku yang sesuai terjadi replikasi oleh banyak orang. Ini memunculkan perilaku sejenis, tertular unggahan di media sosial. Sebaliknya pada perilaku yang tak patut, riuh dihujat. Juga cancel culture. Kerumunan pengguna media sosial, mengawasi kepantasan perilaku pengguna lain, seraya menyikapi: dukung atau hujat. Tak peduli dilakukan tanpa hak. Juga tak ada hukum yang melandasi.

Perihal warga yang melakukan pengawasan terhadap warga lain, terjadi saat Donald Trump mencalonkan diri jadi Presiden, di periode ke-2. Donald Trump yang dikenal sebagai pemimpin yang arogan, kerap melontarkan ucapan rasis, misoginis dan homophobic lewat Twitter-nya, mendapatkan reaksi buruk khalayak. Saat ia hendak berkampanye, pengguna TikTok maupun komunitas yang tergabung sebagai K-Popers, melancarkan aksi pengawasan dan menghukumnya. Terhadap fenomena ini, Elizabeth Culliford, 2020, lewat tulisannya, “TikTok Users, K-Pop Fans Say They Helped Sabotage Trump Rally with False Registrations”, menceritakan perilaku sebagian warga Amerika itu.

Para pengguna Tiktok dan pendukung K-Pop beramai-ramai membeli tiket rapat umum, yang hendak memperdengarkan pidato Donald Trump dan Mike Pence. Sebuah perhelatan yang direncanakan di Tulsa, Oklahoma. Di saat waktunya tiba, tak satu pun pendaftar yang telah merencanakan kehadirannya, datang ke acara yang telah disiapkan. Trump dan Pence berhadapan dengan lapangan kosong. Keduanya dipaksa membatalkan pidato yang hendak disampaikan. Sabotase pengguna TikTok dan penggemar K-Pop Amerika, jadi hukuman atas perilaku Donald Trump yang tak elok. Mekanisme pengawasan bernegosiasi dengan perilaku yang ditentang khalayak.

Kejadian serupa, yang terwujud oleh massifnya pengguna media sosial di Indonesia, terjadi lebih lampau. Ini jika dibanding dengan yang dialami Donald Trump. Pada Oktober 2012, warga Jabodetabek, bergabung dalam Gerakan Save KPK. Seluruhnya berkumpul di Bundaran HI. Khalayak ini menyuarakan penyelamatan KPK, sebagai reaksi atas upaya pelemahan lembaga ini oleh berbagai organ di luarnya.

Gerakan Save KPK ini dilaporkan oleh Hasan Al Habshy, 2012, dalam tulisannya di detikcom, ‘Pendukung ‘Save KPK’ Menyemut di Bundaran HI’. Gerakan diinisasi Koordinator KontraS, Usman Hamid, lewat unggahannya di twitter Hari Sabtu malam. Menghasilkan gerakan ribuan massa yang tak terbendung, di Hari Minggu keesokannya. Ajakan virtual berhasil mewujudkan kehadiran nyata ribuan khalayak, antara lain berkat pilihan jitu jejaring penerus pesan: para Slankers. Komunitas solid dengan dukungan yang prima. Ilustrasi tentang Save KPK ini mengilustrasikan, pengawasan yang dilakukan warga pada unsur lain yang ada di dalam negara. Ini manakala unsur lain itu tak berperilaku sesuai kehendak warga.

Gabriel Granillo, 2020, lewat tulisannya, ‘The Role of Social Media in Social Movement’, mengungkap peran nyata media sosial, memobilisasi gerakan sosial. Dalam uraiannya dicontohkan berlangsungnya protes Black Lives Matter. Gerakan sosial yang mewujud, akibat emosi yang menjalar di media sosial. Rasa khawatir bernasib serupa George Floyd, pria kulit hitam yang dibunuh polisi kulit putih, Derek Chauvin, menggerakan massa. Video terbunuhnya Floyd beredar massif, dan membentuk gerakan sosial. Khawatir oleh terstrukturnya rasisme, emosi kegeraman sosial bangkit berjejaring. Jejaring yang terbentuk, dalam realitasnya mampu menampung ekspresi suka maupun tak suka. Juga jadi wadah berkomentar maupun berbagi informasi di antara penggunanya. Seluruhnya ini disebut sebagai slacktivism.

Slactivism jadi wadah bersekutu, berperang melawan ketidakadilan, debat politik maupun pencapaian kesetaraan di Amerika. Keberadaannya mendorong perubahan pada para pembuat kebijakan. Media sosial mendorong terwujudnya gerakan sosial yang tak dapat diremehkan. Penting untuk menjaga ruang virtual ini, tetap bebas dan demokratis.

Granillo selanjutnya mengutip riset yang dilakukan University of Pennsylvania Annenberg School for Communication, tentang adanya 2 kelompok dalam proses mobilisasi gerakan sosial. Kedua kelompok itu disebut sebagai kelompok inti dan kelompok pinggiran. Kelompok inti adalah khalayak yang turun langsung ke jalan. Kehadirannya untuk melakukan protes, maupun sikap kepada pihak lain. Sedangkan kelompok pinggiran adalah para pengguna media sosial. Melalui kelompok ini, pesan digemakan luas, lewat media sosial.

Granillo juga memuat hasil riset yang dilakukan Kelsy Kretschmer, Guru Besar Sosiologi di Oregon State University. Kretschmer menyebut adanya fenomena yang disebut sebagai ‘Strength of Weak Ties’. Termobilisasinya gerakan massa, akibat informasi yang bersumber dari kenalan atau orang asing. Orang, walaupun ikatannya lemah tapi punya latar belakang yang mirip teman, kerabat, atau orang yang dicintai. Kelompok orang yang dipersepsi punya kedekatan. Kalaupun kedekatan itu tak nyata, persepsinya dapat dibangun lewat isu yang punya kaitan dengan massa yang hendak digerakkan. Proximity.

Dari berbagai unggahan yang mampu mewujud sebagai gerakan sosial, unsur proximity, merupakan hal pokok. Manakala khalayak mempersepsi isu dekat dengan dirinya, dapat terjadi pada dirinya gerakan sosial bakal termanifestasi. Ini contohnya, ‘Koin untuk Prita Mulyasari’, #SahkanRUUPenghapusanKekerasanSexual, #PercumaLaporPolisi. Seluruhnya terbangkitkan oleh pertanyaan yang tak tersuarakan: “bagaimana jika peristiwa itu menimpa juga saya?”. Kekhawatiran menyebar jadi jejaring emosi, melahirkan slactivism. “SaveKPK” pun mengandung proximity: khalayak tertunda kesejahteraannya, akibat korupsi yang terus melanda. Upaya pelemahan KPK, memperparah keadaan.

Namun jika emosi yang ditularkan tak otentik, jadi replikasi atas peristiwa sejenis sebelumnya, sulit mewujud jadi gerakan sosial. Kalaupun ada yang berhasil pendukungnya tak banyak. Pada gerakan ‘Koin untuk Presiden’ maupun ‘Koin untuk Susno Duaji’, keduanya terjadi tahun 2011 dan 2017, tak mewujud jadi gerakan sosial. Gagasan yang otentik itu penting.

Namun yang tak kalah penting, isu yang mewadahi kemungkinan eksistensi diri untuk merambatkan pesan, patut diperhatikan. Khalayak tak hanya digerakkan oleh peristiwa yang mengaduk emosi. Khalayak juga bertindak untuk mewujudkan eksistensi dirinya. Mempertimbangkan bertumpunya informasi pada ikatan lemah, sebagaimana formulasi Kelsy Kretschmer, jadi penting. Namanya memang ‘ikatan yang lemah’. Namun ketika ikatan lemah itu, dipersepsi membawa isu yang dapat memediasi eksistensi seseorang, orang itu akan bergerak. Eksistensi dapat bertumpu pada isu yang dikerumuni orang banyak. “Saya hadir di tengah kerumunan orang yang tak saya kenal, maka saya ada”.

Bukankah itu yang terjadi, saat peserta ticket war pertunjukan Coldplay tak seluruhnya telah kenal band tersohor ini, namun kerumunannnya terus menggelembung. Kesertaaan orang dalam jejaring pembicaraan, mengangkat eksistensinya. Saya terlibat maka saya ada.

Kini dapat diproyeksikan suatu jawaban: mengapa peristiwa yang dimulai oleh penganiayaan sekelompok Gen Z, bahkan ada yang masih di bawah umur, MD, SL, AG, di satu kubu, dengan DO yang teraniaya, menyeret demikian banyak nama lain, dari berbagai instansi? Nama-nama yang seluruhnya kemudian berurusan dengan lembaga penegak hukum, terdorong oleh pengawasan yang melahirkan gerakan sosial. Pengggeraknya semata perkelahiahan antara Gen Z, atau pamer harta yang diduga diperoleh secara tak sah? Namun seluruhnya, media sosial yang dimanfaatkan baik, mampu melahirkan gerakan sosial. Berniat mereplikasi formulanya?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait