URtech

Data pada Artificial Intelligence, Punya Siapa?

Firman Kurniawan S, Rabu, 5 April 2023 10.45 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Data pada Artificial Intelligence, Punya Siapa?
Image: ilustrasi AI. (eLearning Industry)

PADA keberadaannya hari ini, tak ada artificial intelligence (AI) yang dikembangkan tanpa melibatkan peran manusia. Raji Oluwaniyi, 2023 dalam artikelnya yang berjudul ‘7 Reasons Why Artificial Intelligence Can’t Replace Humans at Work’ menegaskan pernyataan itu. 

Menurutnya, istilah kecerdasan buatan berarti memposisikan manusia sebagai sentral dalam proses desainnya. Tak mungkin ada kecerdasan buatan, tanpa meliibatkan manusia. 

Manusia sebagai pemrogram, menyusun kode-kode operasinya, memasukkan jutaan data pada machine learning (ML), membangun algoritma lewat pelatihan yang dilakukan oleh deep (DL) learning, hingga menghasilkan respon alamiah sebagaimana manusia. Manusia tak mungkin absen.

Jika AI dianalogikan sebagai bayi yang berada dalam masa belajar bicara, pengenalan nama-nama benda dilakukan intensif oleh orang tuanya. Nama-nama benda adalah data bagi bayi. ‘Ini hidung, itu jeruk’, dan ‘kulit jeruk dikupas baunya segar’, sambil si Orang Tua tersenyum, memperagakan mencium aroma jeruk. 

Penambahan data baru ini terus dilakukan orang tua, sambil mengulang-ulang penggucapannya. Aktivitas yang juga diikuti pemaduan penggunaan katanya, secara lazim. 

Sang Bayi yang bertahap menyerap semua kata beserta ekspresi pengucapannya, juga mensintesa secara kreatif penggunaan aneka kosa kata. Tak jarang muncul pemaduan kata yang sama sekali baru. Hasil kreasi Sang Bayi. Satu kata dengan kata lain, dipadukan jadi kalimat. 

Kalimat yang kemudian dilontarkan sesuai konteks yang relevan. Saat beranjak kian dewasa, banyak pemaduan kata yang mampu dilakukannya. Bahkan Sang Orang Tua tak jarang takjub, tak kenal lagi Sang Bayi pernah belajar darinya. Kalimat-kalimat yang terasa asing, seakan tak pernah diajarkannya.

Namun demikian, kalimat yang dipadukan manusia baru yang tumbuh dari bayi yang terus belajar ini, tak mungkin berasal dari kata yang belum pernah dimasukkan dalam ingatannya. Kompleksitas asal-usul pembentukan kecerdasan, tak lantas menutupi realitas: hanya data yang pernah diserapnya, yang jadi sumber pengetahuannya. 

Menilik seluruh proses di atas, muncul satu aliran psikologi perkembangan, yang menganggap manusia adalah kertas putih kosong, tabula rasa. Manusia yang kemudian berisi banyak hal ini, menyerap data dari manusia di luar dirinya. 

Aktivitas yang diikuti pelatihan penggunaan data, membentuk informasi hingga pengetahuan. Proses pengisian kertas kosong inilah, asal mula mekanisme penciptaan kecerdasan buatan. Kedudukan manusia dalam proses pembentukan kecerdasan bayi maupun mesin berkecerdasan buatan, tak mungkin ditiadakan.

Posisi manusia dalam keberadaan AI, sangat penting dibahas. Saat penggunaannya kian gencar diperbincangkan, manusia sebagai produsen dan penikmat hasil produksinya harus diposisikan jelas. 

Kejelasan yang juga memandu jawaban atas pertanyaan: hak milik siapa karya yang dihasilkan AI? Bagaimana status data yang digunakan untuk menghasilkan karya AI? Keduanya belum memperoleh pembahasan yang serius. 

Untuk pertanyaan pertama, nampaknya memang tak hendak diperjelas. Setidaknya untuk saat ini. Seiring diluncurkannya ChatGPT oleh OpenAI, kian banyak kreasi hasil perangkat ini yang diperniagakan. Aktivitasnya bahkan telah marak berlangsung, jauh sebelum ChatGPT diluncurkan, akhir tahun 2022 lalu. 

Liputan6.com, 28 Oktober 2018 menurunkan laporannya yang berjudul ‘Lukisan Hasil Karya Kecerdasan Buatan Terjual Rp 6,5 Miliar’. Dilaporkan, AI telah berhasil menorehkan karya bernilai tinggi, yang diberi judul ‘Potrait of Edmond Belamy’. Ini terjadi 5 tahun sebelum popularitas AI menanjak. Lukisan karya AI ini laku dalam pelelangan di Rumah Lelang Christie, dengan harga fantastis. 

Mengapa status kepemilikan karyanya tak hendak diperjelas? Mengacu pada periode promosi produk baru dalam taktik pemasaran, para pengembang AI nampak lebih mementingkan penggunaan perangkat secara luas. Memperjelas status produk yang diperniagakan, bisa jadi disentif penggunaannya. 

Lewat penggunaan perangkat yang intensif, muncul aneka kreasi. Seluruhnya adalah material promosi, yang memancing pengguna lain turut mencoba. Pemahaman terhadap perangkat baru menanjak oleh penggunaan yang luas. 

Selain itu, dengan makin banyaknya pengguna, data yang dapat dipanen makin banyak. Data ini kelak berguna, sebagai bahan penyempurnaan perangkat. Versi beta dari perangkat, dapat berubah, lewat perbaikan bersumber data pengguna.

Sedangkan pertanyaan ke dua, juga jadi perhatian Maya Medeiros and Jordana Sanft, 2018. Ini termuat dalam tulisannya yang berjudul ‘Artificial Intelligence and Intellectual Property Considerations’. 

Keduanya berpendapat, hak cipta yang berkaitan dengan berbagai hasil kerja intelektual ~seni, sastra, drama, musik asli maupun hasil gubahannya, termasuk kode program komputer, kompilasi data maupun grafik harus mendapat perlindungan kepemilikan bagi kreatornya. 

Adanya perlindungan itu memberikan keleluasaan produksi, reproduksi, penerbitan, pementasan karya sastra, seni, drama, maupun musik. Dalam kaitannya dengan AI, perlindungannya mencegah seluruh kerja intelektual digunakan secara tidak sah. Pemanfaatan sebuah kerja intelektual harus jelas dituangkan dalam perjanjian tertulis.

Dalam realitanya, memang karya AI yang merupakan sintesa berbagai data yang dimuatkan pada machine learning, tak mudah dilacak kembali asal usulnya. Namun seturut uraian di awal pembahasan, tak berbeda halnya dengan bayi yang kemudian berkembang jadi manusia baru berpengetahuan, ada manusia yang bertanggung jawab dalam proses memasukkan data dan melatihnya menghasilkan kecerdasan. 

Pada tahap memasukkan seluruh data yang mengandung kerja intelektual, perlu ditelusur status kepemilikannya. Tujuannya, hak-hak yang melekat pada kreator tidak hilang. Bahkan jika kreator harus memperoleh kompensasi, dapat tertunaikan haknya.

Relasi data dan perangkat AI ini, dapat dianalogikan dengan sebuah pusat perbelanjaan besar yang menyediakan berbagai produk konsumsi. Sebut saja, kentang, tomat, wortel, daging ayam, daging sapi, bawang putih, bawang merah, kunyit, jahe, ketumbar, buah, sabun mandi, mie instan, pembersih lantai, es krim, roti, piring, gelas, sendok, garpu, kopi, teh, gula, garam dan ribuan jenis produk kebutuhan sehari-hari lainnya. Pada AI, seluruhnya itu adalah data yang dimasukkan pada machine learning. 

Lewat pembelajaran sosial atau berbagai bentuk pelatihan, konsumen pusat perbelanjaan besar dapat menggunakan aneka produk secara mandiri. Namun juga dapat memadukannya antar produk. Dapat dihasilkan sintesa produk yang sama sekali berbeda dari unsur pembentuknya. Dari tempat bahan masakan: daging sapi, garam, wortel, tomat, bawang putih, dapat dihasilkan sajian sayur soup. Ini adalah hasil kerja kecerdasan memasak. Identik dengan yang dihasilkan AI. 

Yang membedakan sajian olahan dari pusat perbelanjaan besar dengan AI: pada proses pengolahan produk pusat perbelanjaan besar, seluruh siklus produksi dilakukan oleh manusia. Belanja bahan, pengemasan, penyiapan bahan sajian, pemaduan bumbu hingga pengolahan sajian, seluruhnya hasil tindakan manusia. 

Sedangkan pada produk yang dihasilkan AI, dilakukan machine learning yang kode-kode produksinya dibangun oleh deep learning membentuk algoritma. Manakala terdapat perintah untuk menghasilkan produk  tertentu, perangkat akan mengolahnya sesuai perintah. Data yang tersedia dimanfaatkan. Tak mungkin menghasilkan produk yang dikehendaki, dengan data yang belum pernah dimasukkan dalam perangkat. 

Adanya variasi produk yang dihasilkan, bisa mengikuti tata cara tertentu. Misalnya memasak sajian soup dengan resep ala Chef Gordon Ramsey. Itu lantaran resep chef terkenal telah dimasukkan dalam mesin.

Dari uraian itu artinya, data yang dimasukkan pada AI, jelas berdasar kehendak manusia yang memprogrammnya. Demikian juga dengan sumber datanya, jelas asal-usulnya. Maka tak bisa manusia yang ada di balik keperkasaan mesin, menghindari tangggung jawab atas kerja intelektual manusia lain. Juga kompensasi yang harus diberikannya. 

Kerap beredar, karya lukis ala Van Gogh, petikan gitar gaya Eric Clapton atau puisi berciri Sapardi Djoko Damono, sangat jelas terlihat jejaknya. Tak mungkin hanya bisa disebut sebagai karya AI. Penghargaan bagi intelektual di baliknya, mutlak diberikan. Dalam proses kreasi oleh AI, terlebih yang diperniagakan penghargaan atas kerja intelektual itu, harus dinyatakan secara eksplisit.

Menghindar dari tanggung jawab soal data, dengan dalih data yang dilibatkan demikian banyak, bukan cara yang elok. Ini sama artinya dengan sebuah pusat perbelanjaan besar yang menyediakan aneka produk kebutuhan sehari-hari, namun tak mampu menjelaskan asal usul produk yang dijajakan. Boleh jadi yang tersedia bercampur dengan produk curian atau jarahan. Dan celakanya dianggap sebagai produk dagangan yang sah. 

Jika itu yang terjadi, tak ada hal membanggakan memanfaatkan AI. Karyanya mengagumkan, asal-usul datanya, tak dijamin legalitasnya. Jadi pastikan, data yang dimasukkan, punya siapa? 

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait