URnews

Hidup dalam Semesta Tanda di Jagat Digital

Firman Kurniawan S, Senin, 14 November 2022 17.35 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Hidup dalam Semesta Tanda di Jagat Digital
Image: ilustrasi Hidup dalam Semesta Tanda (Foto: 8ph/Freepik)

Dokter Harsya sejenak terpekur. Pikirannya tersita saat menyimak data terbaru penularan Covid-19 hari itu, 7 November 2022. Sumber data Kementerian Kesehatan menyebut: kasus positif baru, terkonfirmasi sebanyak 3.828 orang. Jumlah itu meningkat dibanding kasus positif hari sebelumnya, yang menjangkiti 3.662 orang. Dari lonjakan kasus yang jumlahnya tidak bisa disebut kecil itu, tercatat yang meninggal mencapai 42 orang. Sehari sebelumnya sebanyak 22 orang. 

Bukan angka-angka yang kembali menunjukkan peningkatan penularan, yang mengganggu pikiran Dokter Harsya. Ia tak paham, mengapa peningkatan penularan maupun angka ancaman kematiannya yang tak kecil, tidak menghadirkan suasana mencekam bagi masyarakat. 

Suasana tak mencekam itu, terbaca lewat tanda-tanda yang diekspresikan masyarakat banyak. Aktivitas kerja, sekolah, maupun ibadah yang telah berlangsung dengan tak beda, dibanding sebelum awal pandemi di akhir tahun 2019. Ini jadi tanda kembali normalnya aktivitas utama masyarakat. Ramai pasar, penuhnya fasilitas hiburan, antusiasme datang ke pertunjukan, maupun macetnya jalan raya, sebagai tanda tak terancamnya masyarakat, berada di tengah keramaian. Statistik ekonomi, perdagangan, perjalanan antar kota maupun antar negara yang terus meningkat, jadi tanda tak ada lagi halangan yang mengharuskan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah.    

Jika kembali pada suasana di seputar periode awal pandemi, Maret 2020, suasana mencekam itu tak terbendung. Semua mata terkesiap oleh angka yang terus beranjak naik. Pikiran jadi kalut, akibat makin banyaknya masyarakat yang tertular. Jarak lingkaran penularannya makin mendekat: dari orang lain, orang yang dikenal, kerabat, hingga diri sendiri. Demikian pula dengan yang tak berhasil diselamatkan. Angka kematian terus menanjak. Maut seakan menunggu di depan pintu, bisa menjemput siapa saja, kapan saja.

Di tengah kecemasan, tanda yang dekpresikan masyarakat berupa peningkatan aktivitas mencuci tangan. Alih-alih berjabat tangan, apalagi cipikacipiki tanda persaudaraan, berdiri di luar ruang pun, berjarak 1,5 meter dari orang lain. Kerumunan dihindari. Makan di tempat umum jadi tak lazim. Keluar rumah, bisa dituduh mengundang virus. Masker jadi barang langka. Nilainya naik setara bahan pangan pokok. Boleh saja mengurangi porsi makan, asal masker terbeli. Keadaan yang memaksa, persediaan piranti kesehatan selain masker yang masih menumpuk di gudang, harus tersedia di jalur-jalur penjualan. Disinfektan, bahan kimia suci hama, sabun pembunuh kuman, perangkat pelindung wajah, hingga pakaian ala asronot yang diyakini tak bisa ditembus material penular, habis terjual. Dengan harga yang tak terbilang murah.

Jalan-jalan, pasar, perkantoran, sekolah, rumah ibadah, fasilitas hiburan, rumah makan hingga tempat rekreasi kehilangan gairahnya. Aktivitas masyakat pindah ke rumah-rumah. Work from home, school from home, pray from home, mengikuti himbauan pemerintah. Jikapun ada yang di luar rumah, tujuannya untuk pencari rumah sakit yang masih menyediakan ruang bagi yang tertular, antri mengisi tabung aksigen, atau di tengah kepiluan mengantar jenazah ke pemakaman khusus Covid-19. Juga dengan protokol yang tak biasa.  

Tanda yang massif diproduksi masyarakat saat itu, menunjukkan suasana hati dan pikiran yang tercekam. Namun dibanding, “tercapainya” angka 3000an yang juga terjadi di hari-hari Bulan November 2022, mengapa realitasnya jauh berbeda. Realitas yang sejatinya tersusun oleh penyebab yang sama: Corona Virus. Suasana ketidakpastian yang sama : orang mengalami demam, tak enak badan, melakukan PCR atau SWAB test dan dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Bahkan ancaman yang tak kalah menakutkannya: kematian yang juga terjadi. Ini yang mengganggu pikiran Dokter Harsya, realitas nyata Covid-19 belum berlalu, namun ekspresi tandanya berbeda.

Tanda merupakan keniscayaan hidup manusia. Membawa kehidupan diselenggarakan di seputar interaksi simbolik. Hakikat ini membawa masyarakat, hidup dalam semesta tanda. Karenanya secara radikal, Ernst Cassirer membedakan manusia dari hewan, dengan sebutan  animalsymicum: hewan yang memproduksi tanda. Ungkapan Cassirer ini termuat dalam bukunya, “Philosophie der Symbolischen Formen”, yang ditulisnya dalam rentang waktu, antara tahun 1923 hingga 1929. 

Hal penting dari uraian Cassirer, ia menerima realitas kodrat manusia, sebagai pembuat simbol. Simbol dalam batas tertentu, merupakan bagian tanda. Ia mempunyai sifat bebas ruang dan waktu. Tanda yang sama di waktu yang berbeda, bisa punya makna yang berbeda. Demikian pula dengan ruang ekspresinya. Ketika tanda yang sama diekspresikan di ruang yang berbeda, bisa punya makna yang lain. Yang jelas, keberadaan tanda digunakan manusia untuk menjalani kehidupan. Manusia mengungkapkan segala yang dialami dengan mengeksplorasi aneka bentuk tanda: tulisan, suara, gambar, mimik wajah, gerakan tangan, intonasi pengucapan. Juga aplikasi perilaku: berbelanja, menyanyi, memukul meja, memberi hadiah. Seluruhnya adalah tanda. Manusia dan tanda tak bisa dipisahkan.

Pemahaman di atas yang kemudian dipadukan dengan gagasan Peter Berger dan Thomas Luckmann, 1966: tanda dengan sistemnya merupakan bahasa. Bahasa tak lain merupakan perwujudan sistem tanda. Maka ketika bahasa berfungsi untuk mengkongritkan kesadaran manusia jadi realitas, tanda adalah perangkat pentingnya. Tanda dengan sistemnya yang memuat suatu pengertian, jadi sarana yang menghadirkan realitas.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait