URtech

Mesin Cerdas, Seteru atau Kawan Masa Depan?

Firman Kurniawan S, Senin, 26 September 2022 17.33 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mesin Cerdas, Seteru atau Kawan Masa Depan?
Image: Ilustrasi - Mesin pintar. (Freepik)

KEDAHSYATAN yang tergambar sebagai kapasitas machine learning, merupakan representasi rangkaian kata, yang mengandaikan mesin punya kemampuan sebangun dengan manusia. Dalam realitasnya, pembelajaran oleh mesin, tak sama maknanya dengan proses belajar oleh manusia.

Implikasinya, kecerdasan mesin sebagai hasilnya, tak identik dengan kecerdasan yang melekat pada manusia. Sehingga kemampuan mesin, walaupun bermanfaat untuk menjawab kebutuhan manusia, tak sama karakternya dengan yang dimiliki manusia.

Kesalahpahaman akibat formulasi kata yang merepresentasikan kesempurnaan mesin, sering jadi promosi yang berlebihan, bahkan mendatangkan ketakutan yang tak perlu.

Junaid Mubeen, peraih PhD di bidang matematika dari Universitas Oxford dan Magister Pendidikan dari Universitas Harvard, yang juga seorang peneliti, pendidik, innovator dan penulis, di tahun 2022 mengungkapkan lewat bukunya mengenai berbagai jenis kecerdasan matematis manusia. Buku itu berjudul ‘Mathematical Intelligence: What We Have That Machines Don’t’.

Mubeen mengungkap 5 cara berpikir dan 2 cara kerja manusia, yang tak akan pernah dimiliki oleh mesin. Bahkan mesin yang paling cerdas pun. Sehingga kekhawatiran perseteruan antara mesin dengan manusia, jadi hal yang tak perlu terjadi.

Ke-5 cara berpikir khas milik manusia itu, pertama estimasi. Dengan kemampuan estimasinya, manusia punya pemahaman alami mengenai jumlah dengan metode perkiraan. Kemampuan membuat estimasi secara bawaan ini, tertanam dalam diri manusia dan lebih menonjol keunggulannya, dibanding kemampuannnya melakukan hitungan yang akurat.

Kemampuan estimasi manusia yang digabung dengan karakteristik akurasi yang dimiliki mesin, merupakan kombinasi yang diperlukan untuk memahami dunia nyata. Manusia membuat estimasi, mesin memvalidasinya.

Kedua representasi. Keunggulan manusia berikutnya, adalah kemampuan melakukan abstraksi dan ditunjukkan lewat bahasa. Pengungkapan pengetahuan manusia lewat bahasa, adalah kemampuan melakukan representasi. Ilmu pengetahuan berkembang, mengikuti representasi yang terus berkembang. Keluasannya berspektrum sangat luas, seluas bahasa yang digunakannya. Ini jauh dari abstraksi yang dapat dihasilkan mesin, yang sifatnya biner.

Ketiga penalaran. Manusia mampu menalar kembali produk hasil kerja pikirannya, yang dihasilkan dari aktivitas sistematis murni. Ini yang dikenal sebagai pola. Kebenaran yang ditarik dari kesimpulan yang dituntun oleh fenomena berpola, selalu diuji kembali oleh nalar manusia. Keadaan ini tak mungkin terjadi, pada kebenaran yang dihasilkan oleh kerja mesin.

Keempat imajinasi. Manusia punya kebebasan untuk lepaskan diri dari ikatan yang membatasi keinginannya. Ini termasuk keinginan manusia untuk selalu mempelajari konsekuensi atas pilihan yang dilakukannya. Manakala kebenaran matematis diturunkan dari seperangkat asumsi dan aksioma awal, manusia tak selalu menempuhnya dengan cara demikian. Manusia dapat menggunakan imajinasi, untuk menciptakan konsep-konsep yang menarik, bahkan yang bersumber dari pelanggarannya terhadap aturan.

Kelima bertanya. Keistimewaan manusia dibanding mahluk lain, terlebih mesin yang diciptakannya, adalah kemampuan untuk bertanya maupun mempertanyakan dirinya sendiri. Ini merupakan kemampuan yang penting untuk meningkatkan kapasitas berpikirnya, maupun dalam proses pemecahan masalah yang dihadapinya.

Mesin cerdas, bahkan yang mampu mengalahkan manusia dalam permainan catur, tak punya kemampuan bertanya, apalagi mempertanyakan hasil kerjanya. Mesin bekerja sebatas riwayat data yang pernah diprosesnya, di masa lalu. Ia hanya mampu menciptakan jawaban, berdasar algoritma.

Sedangkan 2 cara kerja manusia yang beda dari mesin, menyangkut karakter dan kolaborasi. Manusia punya pikiran sadar dan bawah sadar yang unik. Sehingga ketika bekerja memecahkan masalahnya, manusia punya perilaku khas, karakter. Ini memberi ciri sebagai cara kerja manusia.

Penyelesaian masing-masing masalah dengan kecepatan yang berbeda-beda. Juga perbedaan jumlah informasi yang diperlukannya untuk itu. Pada mesin, kecepatan itu konstan. Baru mengalami percepatan, seiring peningkatan kapasitas prosesor yang memberdayakannya. Demikian juga dengan jumlah asupan informasi yang diperlukan, selalu ada batas minimumnya.

Cara kerja lain manusia, yang akhirnya tak mampu dipenuhi sebagai kemampuan mesin, adalah menciptakan kolaborasi. Manusia bekerja melengkapi manusia lainnya, dalam mencapai produktivitas. Ini terjadi akibat disatukannya kapasitas yang beragam.

Hari ini pada ekosistem digital, konsep kolaborasi jadi keunggulan manusia. Lewat cara kerja kolaboratif, diciptakan kecerdasan kolektif yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya.

Kata kunci 7 kecerdasan manusia itu, dapat diabstraksi sebagai kehendak sadar. Lewat kehendak sadarnya, manusia mampu melampaui, mentransendensi diri dan lingkungannya. Termasuk terhadap produk yang dihasilkannya sendiri. Ini jenis kecerdasan yang bukan jadi kemampuan mesin.             

Bahasa, jadi sumber kesalahpahaman membandingkan kecerdasan manusia sebagai bentuk yang sepandan dengan kemampuan mesin. Runyamnya, tanpa penyelidikan yang dalam, manusia khawatir bahkan resah atas pengembangan mesin-mesin cerdas yang terus dilakukan.

Walaupun pada perkembangan hari ini para promotor mesin cerdas takjub seraya terus mengembangkan pemanfaatan kemampuan mesin. Namun sebagian besar lainnnya sangat percaya, mesin cerdas bakal mengantikan posisi manusia di masa depan. Ini bentuk ancaman serius bagi manusia. Posisi manusia digambarkan, bakal digantikan mesin cerdas.

Roboticsbiz.com, 2021 dalam editorialnya yang berjudul Why Most People Are Afraid of Machine Learning, menguraikan 5 alasan datangnya ketakutan manusia pada ‘spesies’ mesin cerdas. Ketakutan itu timbul oleh pertama, bahaya yang terbawa oleh kesalahan pengenalan yang dilakukan mesin.

Dalam bentuk ketakutan macam ini, manusia bakal dirugikan oleh proses kerja mesin, yang salah melakukan klasifikasi maupun diagnosis. Pada ilustrasi Film Dokumenter Coded Bias, 2020, ditunjukkan mesin cerdas yang salah mengidentifikasi wajah orang yang masuk dalam daftar pencarian pelaku teroris.

Dari identifikasi yang diikuti penangkapan, ternyata orang yang diduga pelaku teroris salah dikenali oleh mesin. Rehabilitasi memang segera dilakukan, namun trauma yang terjadi pada korban salah tangkap, membekas dalam waktu yang lama.

Ketakutan kedua, bersumber dari penggantian. Tentu yang dimaksud dengan penggantian di sini, adalah penggantian manusia oleh mesin. Mekanisme penggantian manusia oleh mesin, pertama melalui otomatisasi sistem kerja.

Pada sistem ban berjalan di industri fabrikasi, peran manusia digantikan mesin. Kalau pun pada jenis fabrikasi ini manusia masih dimanfaatkan, perannya sebatas melayani mesin. Kedua, penggantian terjadi manakala machine learning diberi kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari manusia.

Adanya kemampuan mengimitasi pekerjaan harian itu, menggeser peran manusia. Kendaraan listrik yang dikembangan perusahaan mobil Tesla, meniadakan peran manusia sebagai pengemudi.

Ketakutan ketiga berupa hilangnya watak personal layanan. Layanan yang dilakukan mesin, bersifat impersonal. Mesin ‘melihat’ layanan yang dituntut dari dirinya, sebatas program yang diperintahkan untuk dijalankan.

Mesin tak mampu mengenali strata, spirit, maupun keberagaman pihak yang menghendaki layanan. ‘Kepentingan’ mesin, sebatas menjalankan program. Walaupun yang dilakukan berupa layanan bagi manusia yang beragam.  

Penting jadi ketakutan orang pada machine learning, adalah terjadinya pembatasan atas pengalamannya. Berdasarkan big data yang diolah oleh machine learning, aktivitas manusia dikelompokkan berdasarkan abstraksi yang pernah diperkenalkan kepadanya. Adanya variasi maupun keragaman, ‘dipaksa’ untuk lebur pada pengelompokan yang telah ada. Implikasi dari keadaan ini, pada pengalaman manusia yang spektrumnya demikian beragam, akan masuk pada pengelompokan yang sudah ada. Ini artinya keragaman akan mengalami pembatasan.   

Memang mesin-mesin cerdas itu, lewat tambahan kapasitas prosesor pengolah informasinya, kian hari kian bertambah. Ini meningkatkan kemampuan belajar mesin. Sehingga kecerdasannya nampak makin melampaui kecerdasan manusia.

Namun penggunaan kata ‘cerdas’, ‘belajar’ sehingga mampu ‘menggantikan’, sesungguhnya tak memiliki acuan yang sepenuhnya sama dengan kapasistas yang dimiliki manusia. Pencapaian tertinggi kemampuan mesin, tak akan melampaui manusia, yang mampu mentransendensi dirinya sendiri. Ini terjadi akibat kesadaran yang dimilikinya.

Jika sudah demikian, masihkah harus khawatir mesin bakal jadi seteru manusia? Bukankah justru dalam sejarahnya mesin, adalah kolaborator paling serasi bagi manusia, dalam mewujudkan kapasistas tertingginya?

**) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait