URnews

Hidup di Tengah Ekosistem yang Makin Cerdas

Firman Kurniawan S, Rabu, 21 Juni 2023 14.04 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Hidup di Tengah Ekosistem yang Makin Cerdas
Image: Freepik

Jakarta - Agak terlambat saya menonton film ini. Sebuah serial yang beredar di tahun 2020 dan ditayangkan di Netflix, dengan judul: ‘Omniscient’. Ada film lain dengan judul sama, jika melakukan pencarian dengan Google. Namun film yang dimaksud ini, bergenre science fiction dan merupakan karya Pedro Aguilera.

Bagi penonton yang terbiasa dengan gebyar dan kecanggihan film-film Hollywood, film yang dibintangi Carla Salle, Sandra Corveloni dan Jonathan Haagensen ini, terasa sedikit lambat alurnya. Juga kalah dalam teknik visualisasinya.

Namun lewat runtutnya pengisahan, juga dekatnya kisah dengan kehidupan nyata, penonton diantar membangun teater dalam pikirannya: demikianlah kehidupan di tengah makin cerdasnya teknologi informasi, beserta artificial intelligence (AI) yang memperkokoh fungsinya. Entah penonton jadi berpengharapan baik, atau malah putus asa, terhadap jerat teknologi.

Film dibuka dengan deskripsi menarik: ‘In a city where citizens are monitored 24/7, a tech employee must outsmart her surveillance drone in order to investigate a murder’. Memang di dalamnya bercerita tentang kehidupan sebuah kota, dengan pengawasan penuh 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Tak sejenak pun terjeda libur.

Di setiap aktivitas, bahkan yang paling intim pun, pengawasan tetap dilakukan. Seluruhnya bertujuan untuk melindungi warganya dari kejahatan. Setidaknya menciptakan rasa aman dalam pikiran.

Dan dalam realitasnya ditampilkan, bagi warga yang telah terjerat tanpa sadar pada sistem pengawasan yang melekat itu, tak ada rasa risih diawasi. Bahkan saat berelasi intim dengan pasangannya.

Penerapan pengawasan, dioperasikan oleh sebuah perusahaan. Omniscient namanya. Sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan institusi pemerintah, yang dalam pelaksanaannya membagi wilayah maupun warganya, jadi wilayah dan warga yang diawasi dan wilayah maupun warga tanpa pengawasan. Tanpa pengawasan di sini mengacu pada tiadanya pengawasan oleh perangkat cerdas yang berbasis AI.

Perangkat cerdas pada wilayah yang diawasi berupa drone sebesar lebah atau lalat yang terus menerus terbang mengitari orang. 1 drone untuk mengawasi 1 warga. Drone mengirim data real time warga yang diawasi, lalu diteruskan pada mesin pengolah data.

Data diubah jadi informasi tentang sekelompok warga negara. Ini dapat digunakan untuk memprediksi keadaan tak aman. Sayangnya tak diceritakan dengan jelas, keberadaan warga dan wilayah dalam pengawasan, berdasar pertimbangan apa.

Namun justru dapat diimajinasikan, pengelompokan didahului oleh adanya pernyataan kesediaan warga, yang bersama warga lain, juga bersedia dimasukkan ke wilayah dengan sistem pengawasan. Pengelompokkan juga mungkin dilakukan lewat seleksi. Warga yang memenuhi syarat tertentu ditempatkan bersama, di wilayah dengan skema pengawasan.

Selain mengirim data perilaku dan keadaan warga, drone juga dilengkapi kemampuan memprediksi tindakan yang akan dilakukan seseorang. Ini berdasar indikasi-indikasi yang tertangkap dari fisik seseorang.

Adanya keringat yang berlebihan, tubuh yang mengejang dan detak jantung yang meningkat, mengindikasikan adanya ketegangan. Ini biasa diikuti oleh luapan aksi kemarahan. Atau tindakan destruktif acak lainnya.

Melalui data itu, drone berjejaring dengan perangkat lainnya, mengirim pesan tindakan mencegah aktualisasi kemarahan. Ini bisa dilakukan dengan mengirim pesan lewat layar-layar yang tersedia di seluruh penjuru kota, agar orang yang mengalami ketegangan dapat segera menenangkan diri.

Menarik napas panjang, seraya berpikir jernih. Seluruhnya dilakukan dalam hitungan detik.

Terhadap adanya data berupa durasi waktu, cara memegang benda, termasuk sudut lekukan jari-jari tangan, maupun cara menggengam benda, dapat terindikasi adanya rencana pencurian. Lagi-lagi berdasar data yang dikirimkan drone, sistem yang telah punya algoritma pencurian menginstruksikan tindakan pencegahan.

Sistem mengingatkan calon pencuri, bahwa rencananya telah terdeteksi. Sistem juga mengirimkan peringatan pada warga, adanya rencana pencurian. Warga diminta waspada. Persuasi dan peringatan dini oleh sistem, mampu mencegah kejahatan.

Tak berhenti sampai di situ, sistem pengawasan juga dapat menentukan status kesalahan warga berdasar hukum yang obyektif. Saat seorang warga didapati merusak benda publik dan terdata bersama bukti lainnya, sistem dapat menentukan statusnya. Kerusakan yang timbul akibat tindakan sengaja atau tidak.

Jika dilakukan dengan sengaja, adakah unsur frustrasi atau sekedar iseng ingin merusak barang publik. Jika terbukti akibat dorongan frustrasi, masih dapat dilacak lagi dari data sebelumnya, pelaku mengalami peristiwa yang menekan akibat kesalahannya sendiri. Atau tekanan di luar kendalinya. Dari semua data itu disusun status seseorang: bersalah atau tidak.

Jika bersalah, harus dihukum penjara, membayar denda atau malah dibebaskan. Pada kesalahan yang sengaja dilakukan, namun terbukti akibat frustrasi yang dipicu oleh tekanan di luar kendalinya, pelakunya malah dibebaskan. Perbuatannya dianggap sebagai implikasi atas kemalangan tak terencana.

Seluruh proses di atas, meniadakan pertimbangan subyektif yang sering menjangkiti manusia. Manusia sulit bertindak obyektif dalam penerapan hukum. Lengkapnya data memperbesar obyektivitas yang dapat dicapai. Lewat pengawasan yang dikembangkan oleh Omniscient ini, polisi dan pengadilan tidak diperlukan lagi.

Lembaga itu tak relevan. Dalam hal adanya warga yang hendak membangkang, mengabaikan sistem, informasinya segera tersebar di dalam jejaring. Ini bisa mengakibatkan dirinya, ditolak bekerja di sebuah bidang pekerjaan. Atau memperoleh pengawasan sosial terus menerus. Serupa dengan penerapan social credit system di Cina.

Pada film juga diilustrasikan, adanya warga yang berada di luar sistem pengawasan. Hidupnya dijalankan di wilayah yang terpisah, dengan yang diawasi. Di tempat itu pengawasan dilakukan konvensional, mengandalkan polisi dan penegak hukum, yang berbekal kepekaan panca indera.

Pemisahan dilakukan dengan pertimbangan, adanya percampuran warga yang diawasi dan yang tak diawasi pada wilayah yang sama, bakal menyulitkan algoritma AI bekerja. Di sini teknologi memang pada akhirnya, bisa berfungsi baik manakala terdapat penyeragaman, kepatuhan. Juga pada data-data yang dikumpulkannya.

Terdapat hal yang luput, entah oleh pengamatan yang kurang cermat atau memang tak tercantum dalam tontonan: tak jelas dalam situasi tahun berapakah, kisah pengawasan Omniscient itu terjadi. Rasa penasaran itu kemudian mengantar penulis pada uraian Fahri Karakas, 2023, yang berjudul: ‘I Asked Artificial Intelligence How the World Will Look Like In 2050: 5 Bold Predictions on Future Technologies’.

Guru Besar asosiate pada Business & Leadership di University of East Anglia ini mendeskripsikan keadaan dunia di tahun 2050. Uniknya, tulisan Karakas merupakan keadaan, yang disusun dengan mengajukan pertanyaaan pada ChatGPT.

Diperoleh 5 keadaan hipotetis dunia hari ini, di 17 tahun mendatang. Seperti ini keadaannya dalam tulisan Karakas: Pertama, Disruptive Technologies of 2050. Di tahun itu, corak teknologi yang mewarnai peradaban sangat berbeda dari hari ini. Kisah-kisah yang bersifat futuristik hari ini, seluruhnya terjadi pada masa itu.

Teknologi berkembang, mematahkan keterhubungannya dengan hari ini. Kedua, The World of Tomorrow: A Look into the Amazing Possibilities of Future Technology. Kemajuan teknologi masa depan di atas, menyediakan kemungkinan berikut perwujudannya secara menakjubkan.

Batas yang tegas antara manusia vs mesin, kehidupan di permukaan bumi vs luar angkasa, seluruhnya lebur. Peleburan batas akibat teknologi, dialami seluruhnya oleh manusia saat itu di kehidupan sehari-harinya.

Tentang eksplorasi segala kemungkinan, digambarkan sebagai keadaan ketiga, The Way We’ll Live in 2050: Exploring the Possibilities of Futuristic Technology. Di tahun 2050, penanganan kesehatan, energi, urbanisasi, eksplorasi luar angkasa, hingga pengembangan aspek pemikiran, sepenuhnya akan berbeda dari hari ini.

Ini juga berpengaruh pada cara hidup pada masa itu, yang masih menjadi kemungkinan di hari ini. Melalui teknologi semua kemungkinan dapat diekplorasi. Keempat, The New Age of Exploring the Final Frontier — How Scientific Exploration of Space will Change Humanity.

Eksplorasi umat manusia menembus batas konvensionalnya, dan juga keinginan untuk mewujudkan berbagai kemungkinan yang didorong oleh penjelahan ilmu pengetahuan, menyebabkan berubahnya nilai kemanusiaaannya. Tembusnya batas, jadi pengubah nilai itu.

Akhirnya kelima, Welcome to the Future: A Look at the Incredible Technologies That Will Shape the World’s Tomorrow. Akhirnya, selamat datang masa depan. Transportasi futuristik, sumber energi alternatif, teknologi digital, hingga produksi hiburan, yang diberdayakan oleh teknologi perkasa, menajamkan pembentukan dunia yang dijalani manusia di masa itu. Sebuah dunia yang nampaknya tergambar jelas lewat, ‘Omniscient’.

Kembali pada seluruh kisahnya di atas, ‘Omniscient’ sepenuhnya identik dengan kisah Dave Eggers, 2016, dalam novelnya yang berjudul ‘The Circle’. Walaupun keduanya berbeda latar peristiwa, namun sama-sama menyisakan pertanyaan besar.

Pengawasan menghasilkan transparansi, dan berujung pada terkikisnya privasi. Pada sistem yang menghendaki transparansi seluas-luasnya, privasi justru dianggap sebagai kejahatan. Namun tak seluruh privasi hendak dilepas manusia, demi meraih transparansi.

Juga rasa aman komunal. Privasi masih jadi bagian hakiki kemanusiaan. Jika demikian, di mana batas privasi yang tak bakal diserahkan pada pengawasan? Dan sampai di mana batas kehendak mencapai transparansi? Seluruhnya, untuk mencapai apa?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait