Pengesahan UU TPKS, Amnesty International: Langkah Maju Lindungi Korban

Jakarta - Amnesty International Indonesia mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang oleh DPR RI adalah langkah penting untuk melindungi korban.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai ini sebagai langkah maju yang sudah lama ditunggu-tunggu.
“Ini adalah langkah maju yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual di Indonesia,” kata Usman seperti dikutip dari keterangan resminya, Rabu (13/4/2022).
“Momen bersejarah ini hanya dapat dicapai berkat kegigihan dan kerja keras masyarakat sipil, khususnya organisasi-organisasi pembela hak perempuan serta para penyintas kekerasan seksual dan keluarganya yang terus berupaya meningkatkan kesadaran tentang urgensi masalah ini selama hampir satu dekade,” imbuhnya.
Kendati demikian, menurut Usman undang-undang tersebut masih belum sempurna. Sebab di undang-undang tersebut, ada dua jenis kekerasan seksual yang malah tak dicantumkan.
UU TPKS yang ada saat ini hanya mengatur tentang sembilan jenis kekerasan seksual. Diantaranya pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, kawin paksa, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Nah dua jenis kekerasan lain yang pernah masuk dalam draf sebelumnya namun dikeluarkan, yaitu pemerkosaan dan pemaksaan aborsi telah. Alasannya untuk menghindari tumpang tindih dengan RKUHP yang masih dibahas oleh DPR hingga saat ini.
“Karena itu kami juga mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan pasal-pasal tentang pemerkosaan dalam RKUHP sejalan dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban,” ujar Usman.
Sebelumnya, RUU TPKS pertama kali digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di tahun 2012. RUU tersebut baru diselesaikan Komnas Perempuan bersama LBH APIK dan Forum Pengada Layanan (FPL) di tahun 2016.
Sejak saat itulah RUU TPKS mulai dibahas di DPR. Pembahasan RUU tersebut pun terhalang karena adanya beberapa oposisi yang berpendapat bahwa RUU tersebut pro-perzinaan. Anggapan itu muncul karena RUU tersebut tak mengatur hubungan seksual di luar nikah.
Namun kendala tak hanya berhenti sampai di situ. RUU TPKS juga sempat dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas pada tahun 2020. Kemudian RUU itu berhasil kembali dimasukkan di tahun 2021.
Hingga akhirnya DPR menyetujui pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022). Kini, aturan itu menjadi legislasi pertama terkait kekerasan seksual yang ada dalam sejarah bangsa Indonesia.