URnews

Retasnya Batas, Ketakutan Manusia Atas Kehadiran Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S, Rabu, 5 Juli 2023 10.12 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Retasnya Batas, Ketakutan Manusia Atas Kehadiran Artificial Intelligence
Image: Freepik

Jakarta - Batas, kata ini akrab tapi jarang didalami maknanya. Saat muncul perbincangan soal batas, terhenyak pikiran sebagian pendengarnya: tak mudah menjelaskannya. Maknanya yang lamat-lamat kabur, terkubur rutinitas.

Namun seluruhnya, tak menghapus arti penting kata batas. Oleh keberadaannya, siang jadi berbeda jelas dari malam. Siang ditandai saat matahari bersinar, dan berakhir sebagai malam saat matahari tenggelam.

Dari kejelasan ini mudah ditetapkan, waktu yang disebut jam kerja. Juga adanya jam istirahat. Siang lazim dijalani sebagai waktu kerja, sedangkan malam untuk beristirahat.

Beberapa kitab suci pun mengajari banyak soal batas, semacam adanya siang dan malam itu. Lebih jauh Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diakses lewat kbbi.web.id, menyebut pengertian batas ini.

Dijelaskan setidaknya sebagai 3 hal.  Pertama, garis yang menjadi perhinggaan suatu bidang, ruang, daerah. Juga pemisah antara dua bidang, ruang, daerah.

Batas dapat pula berarti sempadan atau pemisah. Kedua, batas artinya ketentuan yang tidak boleh dilampaui. Dan ketiga, batas adalah perhinggaan. Yang ini bisa juga diartikan sebagai keadaan tertinggi atau terjauh dari sesuatu.

Identik dengan KBBI, Merriam Webster Dictionary menyiratkan hal senada soal di atas. Perangkat penerjemah ini menyebut pengertian batas, lewat penjelasan soal implikasinya.

Disebutkannya sebagai: “pengaturan titik atau garis, seperti dalam waktu, ruang, kecepatan, atau derajat. Yang di luar pengaturan itu, sesuatu tak bisa atau tak diizinkan untuk dilakukan.

Di luar kamus, saat memanfaatkan Google untuk menemukan arti kata batas, banyak dikaitkan pemakaiannya dengan bidang matematika. Cuemath.com, yang mengutip James Stewart, 2008, dari bukunya: ‘Calculus: Early Transcendentals’, menyebut batas sebagai nilai yang mendekati suatu fungsi atau urutan.

Ini terjadi, saat terdapat masukan atau indeks mendekati nilai tertentu. Batas ini, menurut Stewart sangat penting dalam pembahasan kalkulus dan analisis matematis. Penggunaannya untuk menentukan kontinuitas, turunan, maupun integral.

Dari uraian yang panjang ini, secara awam nampaknya unsur ‘nilai yang mendekati’, memberi pengertian pada batas yang didefinisikan.

Dalam penerapannya secara sosial, soal batas penting dipahami. Seluruhnya berguna dalam memosisikan manusia dan upayanya. Chang Kyun Park, 2016, dalam ‘The Philosophy of Limits: Between Mathematics and Philosophy’ menyebutkan soal batas dalam kehidupan, maupun konsekuensinya.

Yang pertama, batas itu perlu dilampaui. Misalnya dalam rangka mencari ilmu. Saat melakukan pencarian ilmu, sering kemauan individu dihadapkan pada batas. Upaya yang membutuhkan kemauan itu jadi tak optimal, saat batas dirasa mendekat.

Pencarian ilmu harus dihentikan, dihantui batas. Namun dalam realitasnya, perasaan soal batas, sering hanya tipuan mental semata. Mental pemalas. Karenanya batas kemauan, harus dilampaui.

Yang kedua, lanjut Park, adanya batas yang tak dapat dihilangkan. Batas macam ini, sering bersumber dari hal-hal yang alamiah. Selain soal siang dan malam, yang mempengaruhi waktu kerja maupun istirahat di atas, juga soal kemampuan yang dimiliki manusia.

Tiap manusia punya batas kemampuan. Ini misalnya dinyatakan sebagai ukuran kecerdasan. Pada ukuran kecerdasan tertentu, dapat diselesaikan suatu persoalan.

Namun pada persoalan yang kompleks, dibutuhkan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Keadaan ini sering tak dapat dilampaui.

Termasuk batas alamiah yang tak dapat dilampaui, seperti di atas: kekuatan fisik yang dipengaruhi kesehatan maupun umur, kemampuan biologis yang dipengaruhi oleh perbedaan organ tubuh, seperti melahirkan maupun menyusui.

Namun yang tak dapat dilampaui, juga spirit yang dipengaruh oleh keadaan mental.

Impllikasi dari kedua kemungkinan itu, yang harus dilakukan menurut Park adalah mengenali batas. Ini bukan sebagai pengenalan intelektual saja, namun juga sebagai bentuk reaksi seluruh kepribadian.

Park kemudian menutup pernyataannya: merupakan tindakan yang rasional saat seseorang menerima batas, bahkan menjauh dari batas itu. Ini ketika dibandingkan dengan tetap mencoba melampauinya. Menjauh dari batas merupakan ciri yang melekat pada manusia.

Dari tindakan menjauh ini, dapat dilangsungkan komunikasi yang harmonis, antara manusia dengan manusia lain. Jika seluruh pernyataan Chang Kyun Park ini digariskan, akan jadi pernyataan: batas merupakan realitas hakiki yang melekat pada manusia. Pilihannya terserah, menjauhi atau melampauinya.

Adanya dua kemungkinan yang diajukan itu, nampaknya tak berlaku bagi para pengembang artificial intelligence (AI). Bagi kelompok ini, seluruh batas adalah batas yang dapat dilampaui.

Batas yang bersifat konstruksi mental, maupun yang terdeterminasi alamiah. AI yang semula dikembangkan dengan menyalin kemampuan manusia, kini kemampuannya melampaui itu semua. Kemampuan menilai, mengenali pola, mampu menyediakan alternatif terbaik bagi penggunanya, hingga bertindak presisi tanpa lelah, telah jadi AI masa lalu.

Juga seluruh kerjanya yang memanfaatkan neuron network, identik dengan mekanisme kecerdasan manusia menanggapi rangsangan dan membentuk tanggapan. Bahwa AI dikembangkan ‘sekadar’ untuk menyerupai, bahkan memiliki  kemampuan mental manusia, telah tercapai.

Hari ini, pengembangan AI bertendensi untuk meretas segala macam batas. Britney Foster, 2022, dalam tulisannya ‘Artificial Intelligence vs the Laws of Nature’, mengemukakan kemampuan AI yang diamatinya dalam meretas lima batas alamiah.

Lima batas itu meliputi: kemampuan untuk mengalahkan gravitasi, kemampuan untuk mengalahkan kecepatan cahaya, kemampuan untuk mengalahkan waktu, kemampuan untuk melawan penuaan dan kemampuan untuk melampaui panca indera dengan memanfaatkan indera ke enam.

Ini sebagian penjelasannya. Tulisan Britney Foster itu, dibuka dengan pernyataan, AI adalah sesuatu yang digunakan untuk meretas segala batas yang melekat pada manusia. Termasuk keterbatasan otaknya.

Walaupun dalam realitasnya, keterbatasan otak manusia justru menunjukkan berlakunya hukum alam, lewat penggunaann komputer batas itu bisa ditembus. Dalam hal mengalahkan gravitasi, manusia harus mampu menangani energi gelap dan materi gelap untuk menciptakan antigravitasi.

Karenanya, diciptakan mesin berbasis AI sebagai representasi manusia yang ditempatkan pada lubang hitam tanpa gravitasi. Pada ruang hitam tanpa gravirasi inilah dihasilkan gaya gravitasi. Dengan cara ini, manusia dibantu AI mampu eksis mengalahkan gravitasi.

Sedangkan upaya mengalahkan kecepatan cahaya, dilakukan dengan melawan hukum alam yang melingkupi hidup manusia. Kecepatan cahaya adalah 299.792 kilometer per detik.

Tak ada sesuatu pun yang dapat tetap utuh secara fisik setelah melampaui kecepatan itu. Untuk mengatasinya, dikembangkan hibrida manusia dengan mesin berbasis AI.

Hibrida ini bisa mengalahkan kecepatan cahaya dengan melakukan perjalanan jauh dan luas, di alam semesta. Hanya pertanyaannya: apakah alam semesta itu sendiri ada di luar pikiran manusia atau di dalamnya? Atau itu sekedar perspektif yang berbeda?

Hal menarik lainnya dari peretasan batas yang dipikirkan Foster, dengan melibatkan AI, adalah kemampuannya melawan penuaan. Pemanfaatan AI yang dipadukan dengan mesin cetak 3 dimensi, 3D printing, memungkinkan diproduksinya dengan tepat organ tubuh manusia.

Cukup dengan menunjukkan ukuran dan bentuk organ tubuh secara tepat di komputer, lalu spesifikasi detil itu dimasukkan ke pencetak, maka dihasilkan organ buatan yang identik. Organ hasil cetakan ini, digunakan untuk mengganti bagian tubuh yang rusak atau tak berfungsi.

Sehingga, bukan hanya penuaan yang dilawan. Namun juga kematian akibat kerusakan organ tubuh yang dilawan. Batas kematian tak relevan lagi bagi AI.

Ilustrasi penggantian organ tubuh yang dikemukaan Foster sama sekali bukan rekaan ala Serial Netflix, ‘Black Mirror’. Dalam artikelnya itu, diceritakan adanya perempuan berumur 20 tahun yang lahir dengan telinga kecil cacat.

Perempuan ini dapat menjalani kehidupan normal sebagaimana perempuan lain seusianya, manakala menerima implan telinga cetak 3D, yang dibuat dari selnya sendiri. Para pakar kesehatan menyebut perkembangan itu sebagai, kemajuan menakjubkan dalam bidang rekayasa jaringan. AI ada di baliknya, sebagai pelaku.

Namun tak terlalu jelas, apakah yang dikemukakan Britney Foster seluruhnya sudah jadi realitas atau keadaan hipotetik ala science fiction? Sebuah keadaan yang disusun berdasar proyeksi kemampuan AI dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang nampak jelas, diretasnya batas itulah yang menjadi misi seluruh pengembangan AI hari ini. Inilah sumber ketakutan manusia sesungguhnya.

Manakala seluruh batas sudah diretas, batas yang lampau dengan yang masa datang, batas yang otentik dengan yang artifisial, batas yang maya dengan yang nyata, bahkan batas yang hidup dari yang mati maka selesailah berlakunya seluruh hukum alam dalam memberi kepastian.

Manakala kepastian itu tak ada lagi, pada apakah manusia berpijak? Ini menakutkan.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait