URnews

Pakar UGM Sebut Akhir Pandemi COVID-19 Mundur Jika Masyarakat Nekat Mudik

Nunung Nasikhah, Senin, 27 April 2020 13.00 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pakar UGM Sebut Akhir Pandemi COVID-19 Mundur Jika Masyarakat Nekat Mudik
Image: International Business Times

Yogyakarta - Persebaran coronavirus disease (COVID-19) di Indonesia diprediksi akan mereda di akhir Juli 2020 dengan perkiraan proyeksi total kasus positif di angka 31 ribuan.

Prediksi tersebut berasal dari Guru Besar Statistika Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dedi Rosadi bersama dengan pakar lainnya yaitu Heribertus Joko, alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM, dan Fidelis I Diponegoro, alumnus Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI.

Hanya saja, prediksi tersebut bisa berubah oleh tiga hal penting yang berpotensi untuk mengubah timeline menjadi lebih cepat atau lebih lambat dari yang diprediksikan dan dengan jumlah kasus yang berkurang atau melebihi prediksi. Salah satunya terkait kepatuhan tidak melaksanakan mudik sesuai kebijakan pemerintah.

Dedi mengatakan, fenomena mudik pada bulan Mei secara masif atau bentuk migrasi lain dari daerah pusat penyebaran khususnya daerah zona merah yang sangat berpotensi untuk ditunggangi virus.

Menurutnya, kebijakan pemerintah melarang masyarakat untuk mudik sudah sejalan dengan upaya pengendalian risiko wabah yang bila ditaati akan menghambat tumbuhnya klaster-klaster penyebaran baru di seluruh Indonesia.

"Tumbuhnya klaster-klaster baru perlu dicegah agar wabah tidak mundur lebih lama kebelakang yang berakibat akhir wabah di setiap wilayah akan berbeda-beda. Akhirnya menyebabkan perkiraan laju tambahan jumlah kasus di setiap wilayah akan berbeda-beda dan akan memengaruhi timeline dan nilai akhir total prediksi nasional," kata Dedi, sebagaimana dikutip dari website resmi UGM (27/4/2020).

Dedi juga memaparkan setidaknya ada tiga hal penting yang harus diwaspadai dalam beberapa waktu ke depan.

Selain itu, Dedi juga menyebut faktor lain yang bisa mengubah timeline wabah corona yakni kondisi dan usaha untuk merubah kecepatan penularan bahkan memutus total rantai penularan penyakit.

“Dilakukan melalui pengendalian yang efektif terhadap episentrum-episentrum penyebaran virus yang telah ada khususnya kelompok provinsi-provinsi zona merah,” tuturnya.

Jika semua klaster dan episentrum yang telah diketahui bisa dikendalikan dengan efektif dan saat yang sama pencegahan maksimal terhadap kemungkinan tumbuhnya klaster baru di setiap daerah dilakukan dengan baik maka wabah bisa selesai jauh lebih cepat dengan jumlah kasus lebih kecil.

“Sebaliknya, jika pengendalian tidak berhasil dilakukan maka timeline wabah akan mundur dan jumlah penderita yang lebih besar dari prediksi sementara masih mungkin terjadi,” ucapnya.

Faktor yang lain, kata Dedi, berhubungan dengan kondisi di masa yang akan datang terkait konsistensi pengaturan pemerintah.

Lebih dari itu hal yang jauh lebih penting, kata Dedi, adalah bagaimana tingkat kepedulian dan kewaspadaan masyarakat terhadap imbauan pemerintah.

Dedi membuat prediksi tersebut menggunakan permodelan probabilistik dengan dasar data nyata atau probabilistik data-driven model (PDDM), dengan asumsi waktu puncak tunggal.

Prediksi tersebut mengacu pada data publikasi pemerintah hingga 23 April 2020. Dari data itu diperkirakan waktu puncak pandemi terjadi pada Mei 2020 dan pandemi akan mereda di akhir Juli 2020.

Sebelumnya, Dedi juga pernah membuat prediksi berdasarkan data pemerintah sampai 26 Maret 2020. Saat itu, Dedi dan tim telah merilis prediksi sementara akhir pandemi terjadi pada akhir Mei 2020 dengan total penderita positif COVID-19 mencapai 6.174 kasus. Prediksi menggunakan model PPDM tersebut bersifat sementara dan diperbaharui berkala sesuai data yang ada untuk prediksi jangka panjang.

Dedi menyampaikan bahwa akurasi model dengan parameterisasi dan hasil simulasi prediksi seperti di atas masih perlu dievaluasi dalam setidaknya 2 minggu ke depan.

Hal itu dilakukan untuk melihat apakah terjadi tren penurunan yang konsisten atau justru menjadi tren naik. Namun, akurasi prediksi akan semakin baik jika puncak pandemi telah terlewati.

"Hasil prediksi yang diberikan di atas baru memotret data nasional sebagai satu entitas dan melakukan sejumlah simplifikasi," terangnya.

Prediksi tersebut, menurut Dedi, belum menggambarkan potensi penyebaran virus karena faktor kondisi geografis Indonesia berupa negara kepulauan. Selain itu, ia juga belum memodelkan efek pengaruh pengendalian dari pemerintah seperti Pengaturan Sosial Berskala Besar (PSBB).

“Namun secara umum, harus dipahami bahwa kesesuaian realitas masa depan dengan hasil simulasi model matematis (termasuk model PDDM) bergantung kepada banyak faktor yang kompleks,” paparnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait