URstyle

Pakar Virologi UGM Sebut Vaksin Bukan Salah Satu Solusi Hentikan Pandemi, Lalu?

Nunung Nasikhah, Selasa, 25 Agustus 2020 19.56 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pakar Virologi UGM Sebut Vaksin Bukan Salah Satu Solusi Hentikan Pandemi, Lalu?
Image: Ilustrasi vaksin. (European Pharmaceutical Review)

Yogyakarta – Dunia saat ini tengah menggantungkan harapan pada vaksin untuk menghentikan pandemi COVID-19.

Indonesia sendiri saat ini tengah melakukan uji klinis vaksin Sinovac yang berasal dari China sebagai tahap uji klinik fase 3 untuk dapat menilai efikasi atau keandalan vaksin tersebut.

Meski demikian, pakar virologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Mohamad Saifudin Hakim, MSc., PhD, mengatakan, vaksin bukan satu-satunya cara menghentikan pandemi COVID-19.

Sebab wabah virus corona sebelumnya seperti SARS-CoV tahun 2002-2003 dan MERS-CoV tahun 2012 juga berhasil dihentikan tanpa vaksin.

Bahkan, negara-negara yang sukses menahan laju peningkatan kasus COVID-19, seperti China, Korea Selatan, Selandia Baru, Taiwan, juga bisa menekan peningkatan kasus dengan upaya-upaya pencegahan penularan yang dilaksanakan dengan baik dan disiplin.

“Saya kira pemerintah tetap perlu melakukan berbagai upaya pencegahan persebaran COVID-19 ini secara maksimal. Dan masyarakat harus disiplin melaksanakan upaya pencegahan penularan. Tidak boleh kendor sama sekali,” ungkap Hakim, seperti dikutip dari website resmi UGM (25/8/2020).

Menurutnya, tindakan pencegahan seperti isolasi kasus, contact tracing dan karantina, penjarakan fisik, memakai masker dan cuci tangan, dan karantina komunitas (lockdown) sangat diperlukan.

Meski saat ini tengah diuji secara klinis, menurut Hakim, produk vaksin Sinovac tidak serta merta menjadi alat yang efektif untuk yang bisa menghentikan pandemi.

“Jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa vaksin yang sedang diuji klinis saat ini pasti akan efektif dan sudah pasti menjadi pilihan untuk diedarkan. Ini kesimpulan yang terlalu dini,” tegasnya.

Ia menilai kandidat vaksin yang sudah masuk ke uji klinis fase 3 tidak menjamin bahwa uji klinisnya akan berhasil. Banyak kandidat vaksin yang sudah menjalani uji fase 3 namun gagal karena ternyata terbukti tidak efektif.

Kendati demikian, Hakim berpendapat pengembangan vaksin COVID-19 sekarang ini salah satu upaya dilakukan banyak negara untuk menghentikan pandemi.

Hal itu karena banyak penelitian menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk setelah infeksi SARS-CoV-2 secara alami ternyata tidak bertahan lama lalu akan menghilang dalam 2-3 bulan.

Hakim menambahkan, bila nantinya dari hasil uji coba vaksin Sinovac ini berhasil di Indonesia dan dimasukkan ke dalam program imunisasi nasional, keberlangsungan program tersebut akan bergantung pada supply vaksin yang cukup. Oleh karena itu, ia berharap Indonesia bisa memproduksi sendiri.

“Tentu akan lebih mudah dipastikan jika kita mampu memproduksi vaksin sendiri, dibandingkan jika harus membeli dari produsen dari luar negeri,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, teknologi pembuatan vaksin terinaktivasi sudah dimiliki oleh PT Biofarma. Namun, untuk produksi massal vaksin tersebut tentu saja menunggu hasil uji klinis fase tiga ini.

“Bila vaksin ini terbukti efektif dan aman maka produksi massal dapat dimulai. Tinggal nanti kesepakatan antara Sinovac, Pemerintah Indonesia, dan PT Biofarma, berapa bagian dari produksi vaksin itu yang akan diproduksi Biofarma,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait