URnews

Paradoks Kerja dan Surplus Waktu Manusia Digital

Firman Kurniawan S, Senin, 29 Agustus 2022 16.24 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Paradoks Kerja dan Surplus Waktu Manusia Digital
Image: Ilustrasi Bekerja (Pixabay/StartupStockPhotos)

KERJA, dalam peradaban hari ini bukan hal penting yang layak dipersoalkan. Bahwa akibat kerja diperoleh uang yang dapat ditukar untuk memenuhi aneka kebutuhan hidup, sudah jadi kelaziman. Bahwa lewat kerja bakal terbangun eksistensi, harga diri bahkan kuasa, sudah banyak dibahas. Kerja telah diterima sebagai syarat manusia, untuk tetap ada. Baik ada biologis, maupun ada sosial. 

Kedua modus ada ini, sering dikaitkan dengan pencapaian kebahagiaan. Konon manusia yang tercukupi kebutuhan biologis maupun eksistensi sosialnya akibat kerja, akan mengalami kebahagiaan. Karenanya bagi manusia yang hidup hari ini, kerja 40 jam tiap minggu, adalah hal biasa. Justru, jika waktu kerja merupakan elemen pembentuk kebahagiaan, jumlah waktunya harus ditambah. Makin banyak waktu yang dialokasikan untuk kerja, makin besar peluang meraih kebahagiaan. 

Benarkah, selinier itu relasi manusia dengan kerja? Apakah memang manusia koloni pelaku kerja sebagaimana lebah maupun semut, yang justru menemukan makna hidup dari kerja? Apakah sejarah dengan segala macam penemuannya, mengkonfirmasi: manusia adalah mahluk kerja? Jika memang demikian, lalu apa yang terjadi dengan munculnya berbagai laporan angka gangguan kesehatan baik fisik maupun mental, akibat kerja? Mengapa bukan lonjakan kebahagiaan yang justru dilaporkan. Banyak tanya soal ini. 

 Keterlibatan manusia dengan kerja, dimuat dalam laporan International Labour Organizatizon (ILO), yang dikutip Jose Luis Penarredonda, 2018, dalam artikelnya dengan judul What happen When We Work Non Stop.  Laporan itu memaparkan, lebih dari 400 juta orang di dunia saat ini bekerja sekurangnya 49 jam per minggu. Jumlah ini setidaknya mencapai 30%, dari total populasi kerja global. Jika kerja dalam seminggu dilakukan 5 hari, maka sedikitnya 9-10 jam per hari orang melakukan kerja. Tapi yang kemudian dilaporkan alih-alih adalah kebahagiaan, justru munculnya berbagai penyakit. Fisik maupun mental. 

Kelelahan yang mendera fisik, saat tak memperoleh istirahat yang layak, memicu berbagai penyakit. Mulai dari gampangnya sakit flu, hingga penyakit degeneratif, gagal ginjal maupun jantung. Sedangkan sakit pada mental, dipicu oleh tekanan rutinitas yang membosankan, maupun pencapaian target yang mengundang stress maupun kecemasan. 

Termasuk kecemasan kehilangan pekerjaaan itu sendiri. Muncul lebih banyak istilah tentang akibat buruk oleh kerja, dibanding kebahagiaan yang diciptakannya. Ini seperti, workaholic sebagai kecanduan kerja, overwork yang terindikasi oleh berlebihannya jumlah jam kerja, burnout atau stress kronis akibat kelelahan kerja, hingga karoshi berupa kematian, akibat kelelahan kerja yang banyak terjadi di Jepang. Sedangkan untuk kebagiaan akibat kerja, ya bahagia saja.

Jika demikian, lalu apa yang sejatinya hendak dicapai manusia ketika menukar waktunya dengan kerja? Dalam sebuah video singkat yang diunggah melalui akun Youtube- nya, James Suzman, penulis buku Work: A History of How We Spend Our Time, mengungkapkan keheranannya, “Mengapa masyarakat modern, begitu terobsesi untuk bekerja keras?” 

Lalu dalam uraiannya lebih lanjut lewat bukunya yang diterbitkan tahun 2021 itu: bandingkan dengan suku-suku Ju/’Hoansi, - suku yang hingga hari ini masih mempertahankan hidup sebagai pemburu dan pengumpul di tengah keluasan semak-semak-, mereka bekerja tak lebih dari 15 jam per minggu. Kerja dilakukan untuk memburu dan mengumpulkan makanan, guna memenuhi kebutuhan biologis. Dengan waktu yang terhitung singkat jika pakai patokan manusia hari ini, perolehan dari kegiatan kerja Suku Ju /’Hoansi itu, bahkan berlebih. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait