URguide

Zamannya Kedangkalan

Firman Kurniawan S, Senin, 22 Agustus 2022 14.51 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Zamannya Kedangkalan
Image: Ilustrasi. (Pixabay)

APA yang Anda pikirkan saat tersadar, ada bagian hidup hari ini yang makin tak nyaman dijalani? Misalnya, jalan raya yang digunakan tanpa saling peduli keselamatan pengguna lain; konsumsi media sosial yang alih-alih memperluas relasi yang membahagiakan, malah membebani kesehatan mental; atau makin mengemukanya kehancuran etos ketekunan, malih jadi pemujaan pada pencapaian instan. 

Pada apa pembenahan hendak digantungkan? Patutkah hanya mengandalkan pada peran keluarga, pendidik, pemuka agama atau penganjur moral, yang oleh Louis Althusser, 1970, disebut sebagai Ideological State Apparatuses? Tak terpikirkah entropy itu disumbangkan oleh intensifnya penggunaan media digital? Entropy adalah terminologi Ilmu Fisika, yaitu ketika energi tidak cukup untuk melakukan sesuatu. Keadaan ini ditandai oleh meningkatnya ketakaturan yang makin lama makin meningkat.

Keterkaitan antara tidak akurnya hidup dengan pemanfaatan media digital, nampaknya dapat dilacak lewat perubahan struktural yang tak sepenuhnya disadari manusia. Perubahan ini dimulai dari perubahan fisik manusia, yang kemudian menjalar pada budaya, sebagai hasil ciptaannya. Salah satu ulasan yang dapat digunakan untuk keperluan itu, bersumber dari hasil penelitian Nicolas Carr. Lewat bukunya The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, yang diterbitkan tahun 2010. 

Penulis Amerika yang konsentrasi penelitiannya pada kaitan antara teknologi, ekonomi dan budaya ini, menguraikan munculnya konsekuensi perubahan fisik maupun budaya manusia. Perubahan ini didorong oleh penggunaan teknologi digital - dimulai dari komputer, diikuti komputer berjaringan internet, dan disusul oleh aneka aplikasi media digital - yang makin intensif. Ini semua menyebabkan cara penggunaan otak manusia turut berubah. Akibat sifat plastisnya, otak manusia mengalami pengaturan kembali. 

Ringkasnya, kata Carr, otak hari ini lebih sulit untuk diajak berpikir lambat. Ini misalnya saat diajak melakukan kajian mendalam, apalagi perenungan. Otak melompat cepat dari satu topik ke topik lain. Ia responsif, mengadaptasi datangnya informasi yang selalu baru. Keadaan ini, sangat terkait dengan derasnya aliran informasi yang dihasilkan oleh perangkat digital. Kedatangan informasi harus segera ditanggapi. Perhatian mudah beralih, tanpa penelaahan yang seksama. Permukaan otak aktivitasnya makin meningkat. Sementara sisi pertimbangannya, akibat jarang digunakan, mengalami pelambanan. Pemrosesan informasi dengan cara ini, menghasilkan cara berpikir yang dangkal, shallows, sebagaimana judul buku Carr.

Gejala pendangkalan itu, bila diproyeksikan dalam kehidupan hari ini, berupa sifat biner yang makin menggejala. Pada tiap peristiwa, ‘harus segera’ diputuskan mana yang salah dan yang benar, mana yang baik dan yang buruk, mana yang dibenci dan yang didukung. Semua harus cepat disikapi, hampir tanpa lewat telaah mendalam. 

Terhadap pertengkaran di jalan raya, mobil lawan motor, hampir pasti mobil yang disalahkan. Yang besar menang kuasa, yang kecil tertindas. Karenanya harus dibela. Padahal dari teori hitung peluang, semua yang digerakkan manusia pasti bisa melakukan kesalahan. Baik mobil maupun motor bisa salah. Mestinya, keberpihakan didahului telaah mendalam. Membiarkan semua kemungkinan hadir. 

Pemihakan yang cenderung potong kompas ini, bisa jadi lucu. Saat pertengkaran yang diketahui netizen lewat media sosial melibatkan mobil lawan mobil lain, untuk memutuskan yang salah dilihat jenis mobilnya. Hampir pasti yang jenis mobilnya lebih murah, bakal memanen simpati. Mobil yang mahal disalahkan. Refleks konflik kelas ala Marxian, nampak menjangkiti masyarakat yang didangkalkan cara berpikirnya oleh media digital.  

Cara berpikir problematik ini, baru kena batunya manakala hadir informasi yang lebih lengkap, dalam waktu cepat. Ini relevan dengan peristiwa beberapa tahun lalu, saat seorang siswi menggalami perundungan oleh 12 siswi lainnya. Akibat kejadian ini, Sang Siswi dilaporkan harus memperoleh perawatan medis. Bahkan penanganan mental, oleh dokter spesialis jiwa. Prihatin terhadap peristiwa yang terjadi, muncul inisiasi gerakan ‘#JusticeforXYZ’. 

Nampak dari judul gerakan, ke mana arah keberpihakan bermuara. Yang jumlahnya lebih sedikit, memanen simpati. Tanpa lewat telaah kontekstual satu lawan sekelompok, diputuskan yang berlaku tak adil pasti yang sekelompok. Namun dari kenyataan di hari-hari berikutnya, posisi masing-masing pihak didudukkan lebih jelas. Terangnya cerita, justru menyebabkan cancel culture pada XYZ. Ini berbalikan dengan arah gerakan, di hari-hari awal kejadian. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait