URnews

Pendidikan Kritis dan Hargai Perbedaan Bisa Cegah Anak dari Terorisme

William Ciputra, Kamis, 31 Maret 2022 18.31 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pendidikan Kritis dan Hargai Perbedaan Bisa Cegah Anak dari Terorisme
Image: Komisioner KPAI Retno Listyarti. (KPAI)

Jakarta - Anak-anak turut menjadi sasaran untuk direkrut menjadi anggota kelompok teroris. Salah satu buktinya adalah penangkapan 16 orang kasus dugaan teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatera Barat beberapa waktu lalu. 

Dalam kasus tersebut, 16 orang tersangka yang berhasil ditangkap ternyata aktif mencari anggota baru. Kuat dugaan, mereka juga menyasar anak-anak dalam proses perekrutan.

Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, rekrutmen dengan melibatkan anak-anak merupakan modus yang sudah lama digunakan. 

Listyarti menyebutkan, biasanya proses rekrutmen itu masuk ke sekolah-sekolah umum seperti SMA maupun SMK. Selain itu, anak-anak yang disasar juga yang diketahui memiliki masalah. 

“Yang disasar umumnya anak-anak yang memiliki masalah, misalnya kesulitan ekonomi, kesulitan belajar, kurang perhatian orangtua, ada masalah dengan keluarga. Sementara secara pemahaman agama bisa jadi terbatas. Perekrut biasanya masuk melalui alumni atau guru”, ungkap Retno dalam rilis yang diterima Urbanasia, Kamis (31/3/2022).

Dalam hal ini, KPAI menilai penting peran pendidikan dalam menanamkan karakter demokrasi, toleransi dan anti kekerasan. Menurut Retno, pendidikan itu bisa dilakukan di lingkungan keluarga maupun di sekolah. 

“Peran sekolah dan guru sangatlah penting dalam membangun sekolah damai dan menanamkan karakter toleran,” imbuh Retno yang juga Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) itu. 

Dalam keterangannya, Retno juga merinci beberapa sebab anak-anak mudah dipengaruhi oleh jaringan terorisme, termasuk NII.

Pertama, kata Retno, terkait dengan pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap perbedaan pendapat dan cara pandang yang beragam. Hal ini akan mengarah pada penyeragaman dan tidak menghargai perbedaan.

Kedua, ada kecenderungan para peserta didik  dan pendidik  terjebak pada ‘intoleransi pasif’. Retno menjelaskan, intoleransi pasif adalah perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan terkait SARA maupun pandangan politik. 

“Walau belum berujung tindakan kekerasan, namun pada era digital ini dapat terlihat dari postingan di media sosial mereka,” imbuh Retno.

Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh pendidik yang membawa ideologi dan pandangan politik pribadinya ke dalam kelas. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait