URstyle

Physical Distancing Perburuk Kondisi Mental Pelajar dan Mahasiswa

Itha Prabandhani, Jumat, 17 April 2020 13.05 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Physical Distancing Perburuk Kondisi Mental Pelajar dan Mahasiswa
Image: Ilustrasi

Jakarta - Pandemi COVID-19 telah memengaruhi ratusan negara di dunia dan membuat ribuan sekolah serta universitas menutup kegiatan pembelajaran tatap muka.

Kondisi ini juga memberi dampak khususnya pada pelajar dan mahasiswa yang telah memiliki gangguan mental atau berkebutuhan khusus.

Beralihnya kegiatan belajar mengajar menjadi e-learning atau belajar dari rumah, telah mengakibatkan berkurangnya akses terhadap sumber-sumber informasi dan bantuan yang biasa didapatkan dari guru atau sekolah.


Kesulitan Mendapatkan Bantuan dan Dukungan

Sebuah survey yang dilakukan oleh YoungMinds terhadap 2.111 orang muda dengan gangguan mental di Inggris, menunjukkan bahwa 83% dari mereka mengalami kondisi yang lebih buruk.

Selain itu, 26% di antaranya mengaku kesulitan mendapatkan bantuan dan dukungan berupa dukungan kelompok atau layanan tatap muka dari guru, dokter, atau ahli. Padahal, tidak semua merasa nyaman dengan bantuan yang diberikan melalui telepon atau layanan online lainnya.

1587103498-kondisi-mental-lebih-buruk.jpg

Kondisi serupa juga terjadi di belahan dunia yang lain. Seorang psikolog asal Hongkong, Zanonia Chiu, mengatakan kegiatan belajar di sekolah sangat penting untuk membantu para orang muda dengan gangguan mental.

Meskipun pergi ke sekolah kadang sulit dilakukan oleh mereka, namun rutinitas tersebut membantu mereka menemukan ritme kehidupan sehari-hari.

“Saat ini di mana sekolah-sekolah ditutup, beberapa dari mereka mengurung diri dalam kamar selama berminggu-minggu, dan malas makan, mandi, maupun bangun dari tempat tidur,” ungkap Chiu seperti dilansir thelancet.com.

Chiu juga memiliki kekhawatiran bahwa nanti jika sekolah sudah kembali buka, mereka yang memiliki gangguan depresi akan merasa kesulitan untuk beradaptasi lagi dengan kehidupan “normal” mereka.


Frustasi Akibat Rutinitas Berubah

Sementara itu, psikiater dari Universitas Hongkong, Chi-Hung Au mengatakan bahwa penderita autisme juga memiliki risiko tinggi terhadap perubahan situasi ini. Mereka dapat merasa frustasi dan mudah marah karena rutinitas harian mereka berubah.

Untuk itu, para ahli menyarankan agar anggota keluarga yang lain berusaha untuk menghadirkan suasana yang serupa untuk mengganti rutinitas keseharian mereka, seperti membuat jadwal kegiatan yang sama.

Hal ini dirasa dapat membantu mereka mengurangi kecemasan akibat situasi yang tidak pasti.


Masa Depan Tidak Pasti

Di sisi lain, para mahasiswa juga memiliki kekhawatiran lain, seperti hilangnya pekerjaan sampingan mereka akibat banyak usaha tutup. Selain itu, mahasiswa tingkat akhir dianggap paling rentan terhadap situasi saat ini.

Orang muda yang akan segera menyelesaikan masa kuliahnya akan merasa sangat khawatir terhadap masa depan dan kondisi keuangan mereka akibat ketidakpastian kesempatan kerja.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait